Penulis : Zakky Ashidiqi
Perpajakan di Indonesia menganut asas substance over form yang artinya substansi suatu kejadian/transaksi mengungguli formalitas atau legalitasnya. Dalam menganalisis Virtual Office, secara filosofis penghasilan yang diterima/diperoleh atas sewa Virtual Office dapat dikenakan PPh Final Pasal 4 ayat (2) dengan tarif 10% dari jumlah bruto nilai sewa. Hal ini karena Virtual Office menyediakan alamat korespondensi sebagai bagian dari gedung yang disewa.
Selain itu, di dalam PMK Nomor 147/PMK.03/2017, terdapat salah satu syarat terpenuhinya kondisi pengelola kantor virtual yaitu harus menyediakan ruangan fisik sebagai tempat kegiatan usaha bagi calon PKP. Namun jika kembali lagi ke substance over form harus dilihat dulu transkasi sewa yang terjadi, apabila Sewa Virtual Office hanya menyediakan persewaan server/bandwitch tanpa ada ruangan (tanah dan/atau bangunan) yang disewa maka akan dikenakan PPh pasal 23
Oleh karena itu, untuk memberikan asas certainty atau kepastian hukum dan memenuhi asas equality atau keadilan pajak, perlu dibuat regulasi yang mengatur lebih lanjut terkait isu pemajakan atas persewaan Virtual Office ini. Apabila hal ini tidak dilakukan, dapat membuka loophole bagi penghindaran pajak sebab nilai tarif PPh Pasal 23 sebesar 2% jauh lebih kecil dibandingkan dengan tarif PPh Final yang sebesar 10%.
Bukti pemotongan PPh Pasal 23 ini dapat digunakan sebagai kredit pajak bagi Badan usaha persewaan gedung sehingga mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar di dalam perhitungan SPT Tahunan PPh Badan. Dengan kata lain, Badan usaha persewaan Virtual Office akan lebih memilih untuk dipotong menggunakan tarif PPh Pasal 23 daripada menggunakan tarif PPh Final Pasal 4 ayat 2.
#ThinkBigWithHnG