Penulis : Ana F. & Fathul H.
Mengenal istilah Restorative Justice (Keadilan Restoratif)
Istilah “Restorative Justice” bisa dikatakan pertama kali diciptakan oleh Albert Eglash, Randy Barnett, dan Nils Christie pada tahun 1977. Eglash, Barnett, dan Christie termasuk di antara yang pertama berbicara mengenai krisis yang terjadi dalam sistem peradilan pidana, dan tentang paradigm alternatif, yang secara mendasar dapat menggantikan paradigma hukuman.
Secara khusus, Eglash membedakan tiga jenis peradilan pidana, yaitu retributif, distributif, dan restoratif. Menurutnya, retributif dan distributif berfokus pada tindak pidana, menyangkal adanya partisipasi korban dalam proses peradilan, dan hanya membutuhkan partisipasi pasif dari seorang pelaku. Adapun restoratif, sistem tersebut berfokus pada pemulihan atas kerusakan atau kerugian yang diakibatkan oleh pelaku, dan semua pihak baik pelaku dan korban dilibatkan secara aktif dalam proses peradilan (European Institute for Crime Prevention and Control affiliated with the United Nations, 2007).
Antara teori vs praktik
Untuk mengetahui bagaimana restorative justice dari segi teori dan praktik, maka perlu kiranya melihat apa yang ditulis oleh Tony Marshall pada tahun 1999 dalam salah satu karyanya yang paling sering dikutip berkaitan dengan definisi restorative justice, ia mengatakan bahwa restorative justice merupakan proses di mana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu berkumpul untuk menyelesaikan secara kolektif bagaimana menangani akibat dari pelanggaran yang dibuat dan implikasinya di masa yang akan datang.
Dalam praktiknya, penerapan restorative justice dapat merujuk pada salahsatu dari empat program berikut:
- Mediasi korban-pelaku;
- Konferensi Kelompok Keluarga;
- Lingkaran Penyembuhan dan Hukuman; dan
- Komunitas Dewan Pemulihan
Pertama, Mediasi Korban-Pelaku adalah salah satu program restoratif kontemporer yang paling terkenal dan umum digunakan. Dalam bentuknya yang khas, ia menyatukan korban utama dan pelaku menggunakan seorang mediator. Ketika kedua belah pihak telah menyampaikan pendapatnya, mediator membantu mereka mempertimbangkan cara-cara untuk memperbaiki keadaan. Mediasi korban-pelaku dapat muncul dalam berbagai bentuk, tergantung pada struktur sistem peradilan pidana di mana ia diperkenalkan, tingkat toleransi yang ada di masyarakat, latar belakang budaya dan sejarah negara yang bersangkutan.
Kedua, Konferensi Kelompok Keluarga, program ini berbeda dengan mediasi korban-pelaku karena melibatkan lebih banyak pihak dalam prosesnya. Secara khusus, tidak hanya korban utama dan pelaku yang dimasukkan, tetapi juga korban sekunder, pihak keluarga dan teman dekat, perwakilan masyarakat atau pihak kepolisian.
Ketiga, Lingkaran Penyembuhan dan Hukuman atau yang disebut juga upaya untuk menciptakan perdamaian. Program ini mirip dengan konferensi kelompok keluarga, sebab program ini juga memperluas partisipasi di luar korban dan pelaku utama. Namun, dalam kasus ini, setiap anggota komunitas yang memiliki kepentingan dalam kasus ini dapat berpartisipasi, seperti korban, pelaku, keluarga dan teman-temannya, hakim serta personel pengadilan, jaksa, penasihat hukum, dan polisi.
Keempat, Komunitas Dewan Pemulihan, program restoratif ini adalah contoh khas dari anggota masyarakat yang terlibat secara substansial dalam proses peradilan. Komunitas Dewan Pemulihan ini merupakan kelompok kecil warga yang aktif, yang secara khusus dilatih untuk melakukan pertemuan tatap muka publik dengan pelanggar yang “dihukum” oleh pengadilan untuk berpartisipasi. Tujuan dari masing-masing dewan adalah untuk memberikan kesempatan kepada korban dan masyarakat untuk menghadapi pelaku secara konstruktif, sekaligus memberikan kesempatan kepada pelaku untuk mengambil tanggung jawab pribadi.
Restorative Justice di dunia
Di dunia internasional, praktik restorative justice dapat dilihat melalui pembuatan kebijakan-kebijakan nasional, misalnya (European Institute for Crime Prevention and Control affiliated with the United Nations, 2007):
- Selandia Baru
Pada pertengahan 1980-an diperkenalkan RUU Anak dan Remaja. Di dalam RUU ini, dalam penyelesaian masalah diarahkan untuk mempertimbangkan pelibatan orang tua dan kelompok keluarga dalam mengembangkan solusi untuk masalah remaja. Kemudian pada tahun 1989, RUU tersebut dimodifikasi secara substansial dengan mengusulkan penggunaan konferensi kelompok keluarga untuk menangani perawatan anak-anak dan kejahatan remaja.
- Kanada
Setelah konferensi Restorative Justice 1997 oleh Asosiasi Peradilan Pidana Kanada dan Pusat Internasional untuk Reformasi Hukum Pidana dan Kebijakan Peradilan Pidana, dibentuk sebuah kelompok kerja yang terdiri dari pejabat senior dari Pemerintah Federal, Provinsi dan Teritorial. Tujuannya adalah untuk berkolaborasi dalam menjabarkan kebijakan untuk restorative justice. Kemudian pada tahun 1996, Menteri Federal, Provinsi, dan Teritorial yang bertanggung jawab atas kekuasaan kehakiman mengesahkan laporan yang ditulis untuk mengatasi pertumbuhan populasi penjara pada waktu itu, dimana salah satu rekomendasinya adalah meningkatkan penggunaan restorative justice. Hasilnya pada bulan Oktober 1999, Pemerintah Kanada berkomitmen untuk meluncurkan program restorative justice untuk membantu korban mengatasi trauma kejahatan dan memberikan kesempatan kepada pelaku non-kekerasan untuk membantu memperbaiki kerusakan atau kerugian yang disebabkan oleh tindakan mereka.
- Australia
Pendekatan hukum untuk restorative justice mulai dilakukan pada tahun 1993 di Australia Selatan dengan berlakunya Youth Offenders Act 1993. Menurut Heather Strang, program restoratif di Australia dan khususnya Konferensi Kelompok Keluarga sebagian besar didasarkan pada model konferensi yang dikembangkan di Selandia Baru. Hasilnya pada tahun 1998, ada sekitar 1.450 program restorative justice diselenggarakan di Australia Selatan. Sejak itu, semua yurisdiksi Australia lainnya, kecuali Victoria, telah memperkenalkan undang-undang yang mengakomodir restorative justice.
- Inggris dan Wales
Perkembangan pertama restorative justice di Inggris dan Wales datang dari masyarakat tanpa adanya dukungan dari legislatif atau dari Pemerintah. Konsep restorative justice pertama kali diperkenalkan melalui program mediasi korban-pelaku pada tahun 1972. Sejak itu, praktik baru tersebut terus berupaya menemukan payung hukumnya, sebab tidak ada undang-undang khusus yang dibuat untuk mengaturnya. Namun setelah laporan Komisi Audit tahun 1996, yang mengkritik keras sistem peradilan pemuda yang ada pada waktu itu, keluarlah Crime and Disorder Act 1998 (CDA), yang merupakan legislasi pertama yang memungkinkan terlaksananya mediasi korban-pelaku di Inggris dan Wales.
Kesimpulan
Melalui proses restorative justice ini, memungkinkan korban mengambil kendali atas apa yang telah terjadi pada mereka. Selain itu, bahkan ketika pertemuan restoratif mungkin gagal mencapai tujuan transformatifnya, permintaan maaf dan penyesalan yang berarti atas nama pelaku dapat berdampak signifikan pada korban dan keluarga mereka.
Praktik restoratif didasarkan pada prinsip-prinsip inklusi, rasa hormat, saling pengertian dan dialog sukarela dan jujur. Orang dapat berargumen bahwa ini adalah nilai-nilai inti, yang jika tertanam dalam masyarakat, dapat membuat kejahatan seperti kejahatan atas ras, suku, dan agama hampir mustahil. Oleh karena itu, mempertemukan orang dengan ketakutan dan bias mereka dapat membantu menghilangkan mitos dan stereotip yang mendasari sikap kebencian. Hal ini juga memungkinkan pelaku untuk melihat korban sebagai manusia, merubah pemikiran dan rasa benci yang selama ini tertanam sehingga kejahatan yang pernah mereka lakukan tidak diulangi lagi.
#ThinkBigWithHnG