Menilik Wacana Penggabungan NIK dan NPWP

Penulis : Zakky Ashidiqi


Wacana pemerintah untuk menambahkan fungsi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) diharapkan mampu memperkuat basis data pelayanan publik Direktorat Jenderal Pajak. Kebijakan tersebut telah tertuangkan dalam Undang-Undang Harmoninasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Hal tersebut selaras dengan amanat Perpres No. 83 Tahun 2021.

Berdasarkan Perpres tersebut disebutkan pada Pasal 4 ayat (1) Perpres No. 83 Tahun 2021 terdapat 3 ketentuan dalam penambahan atau pencantuman NIK dan NPWP dalam pelayanan publik. Pertama, NIK sebagai identitas untuk orang pribadi yang belum mempunyai NPWP. Kedua, NIK dan NPWP sebagai identitas untuk orang pribadi yang mempunyai NPWP. Ketiga, NPWP sebagai identitas untuk badan dan orang asing yang tidak mempunyai NIK. Pada pasal 4 ayat (2) dijelaskan pula ketentuan tersebut dikecualikan dalam pemberian pelayanan publik kepada orang asing yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan tidak diwajibkan untuk memiliki NPWP dan/atau NIK

Sesuai amanat peraturan tersebut, Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) beserta Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berkolaborasi dalam melakukan pemutakhiran dan pencocokan data. Dalam hal ini tentu tujuan yang ingin dicapai oleh DJP adalah mengefisiensikan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak, selaras dengan semangat reformasi perpajakan yang dianut DJP dalam memperbaiki dan berinovasi secara terus menerus. Selain itu diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang berimplikasi terhadap kenaikan tax ratio Indonesia. Oleh karena itu terdapat banyak aktor dalam perumusan kebiajakan tersebut baik dari pemerintah maupun aktor di luar pemerintahan.

Aktor yang terlibat dalam kebijakan ini

Pemerintah merupakan organisasi negara yang memiliki tanggung jawab beserta wewenang dalam membuat dan menjalankan peraturan dan hukum berdasarkan yurisdiksi. Intruksi Presiden melalui Perpres No. 83 Tahun 2021 dan pengesahan UU HPP merupakan perwujudan legitimasi kebijakan penggabungan NIK dan NPWP dari sektor pemerintah (state). Dalam hal ini, aktor yang berperan dominan dalam perumusan dan pelaksanaan dari pemerintahan adalah Menteri Keuangan bersama Kemenkeu melalui DJP beserta Kemendagri melalui Dukcapil. Sedangkan sektor swasta merupakan organisisasi yang tidak terikat dan tidak dimiliki oleh negara beserta seluruh aktivitas didalamnya.

Dalam perumusan kebijakan penggabungan NIK dan KTP sebenarnya tidak ada aktor swasta (private) yang terlibat secara langsung dalam perumusan formulasi kebijakan tersebut. Namun masukan dan pendapat para pakar juga berperan penting dalam pertimbangan pengambilan keputusan. Aktor tersebut seperti Pakar Keamanan Siber Pratama Persadha, yang menekankan pada penguatan sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur dan juga Dosen Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Airlangga (Unair) Gitadi Tegas Supramudyo selaku akademisi yang memberikan masukan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut harus dilakukan secara bertahap dan memetakan kondisi faktual dalam masyarakat. Selain itu aktor swasta yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan tersebut adalah perusahaan yang ditunjuk atau sebagai tender pengadaan mesin dan pengembangan sistem pemerintahan (konsultan dan developer IT).

Selanjutnya unsur masyarakat (society) merupakan unsur terakhir dalam perumusan kebijakan ini. Pada dasarnya, dalam perumusahan kebijakan peran masyarakat secara umum tidak dilibatkan secara langsung. Namun sesuai konsep demokrasi bahwa kehadiran masyarakat dalam negara terwakilkan oleh anggota legislatif, dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), khusunya dalam perumusan kebijakan penggabungan NIK dan KTP ini adalah Komisi XI DPR RI.

Jika ditinjau dari unsur mana yang berperan paling dominan tentu saja pemerintah (state) yang berperan dominan dalam perumusan kebijakan tersebut. Hal ini sejalan dengan konsep governance, bahwa pemerintah memiliki kemampuan untuk membuat dan menegakkan peraturan serta memberikan pelayanan publik terlepas dari apakah pemerintahan itu demokratis atau tidak.

Keterkaitan antara kebijakan penggabungan NIK dan NPWP dengan politik beserta administrasi pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan, sebab administrasi merupakan seluruh proses kesatuan dalam pelaksanaan kebijakan untuk mencapai tujuan yaitu mengefisienkan pelayanan publik dibidang perpajakan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi cost of taxation dari segi wajib pajak sedangkan dari segi administrator atau fiskus hal ini tentunya membuat tingkat tax collection DJP meningkat karena beban kerja fiskus akan semakin berkurang.

Namun bukan tanpa kritik, kompleksitas kebijakan penggabungan NIK dan NPWP ini menimbulkan beberapa permasalahan baru seperti apakah sistem di Indonesia dapat menjaga kerahasiaan dan keamanan data seluruh pemangku kepentingan (stakeholder). Kita ketahui bahwa maraknya pembobolan data NIK oleh para peretas dan diperjual belikan di pasar gelap merupakan ancaman kejahatan siber yang serius. Oleh karena itu akan sangat berbahaya apabila penggabungan ini justru akan menimbulkan permasalahan baru yang mengakibatkan tersebarnya data wajib pajak ke publik. Hal ini tentunya menjadi perhatian khusus dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan tersebut.

Harapan akan kebijakan ini

Kondisi administrasi/birokrasi khususnya di bidang perpajakan di Indonesia yang masih sangat banyak dan rumit (hyper regulation) serta tumpang tindih (overlap) antara satu dengan yang lain, sehingga menjadi latar belakang tercetusnya reformasi perpajakan. Salah satunya diwujudkan oleh DJP melalui kebijakan penggabungan NIK dan NPWP yang diharapkan mampu memangkas dan mempermudah proses administrasi/birokrasi di bidang perpajakan

DJP sebagai institusi yang bertanggung jawab di bidang penerimaan negara, khususnya di bidang perpajakan memiliki fungsi sebagai mana tertuang dalam Pasal 365 PMK 184/PMK/01/2010, yaitu merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang perpajakan. Didalamnya meliputi merumuskan kebijakan, melaksanakan kebijakan, menyusun norma, standar, prosedur serta kriteria pelaksanaan kebijakan, memberikan bimbingan teknis dan evaluasi serta pelaksanaan administrasi di bidang perpajakan.

Sehingga perumusan kebijakan penggabungan NIK dan NPWP merupakan kebijakan yang ideal dalam meningkatkan tax complience atau kepatuhan wajib pajak. Kebijakan ini sangat penting dalam perbaikan administrasi di bidang perpajakan dalam mempermudah dan mempercepat birokrasi kewajiban perpajakan serta memberikan asas ease of administration, yaitu dengan kemudahan administrasi di bidang perpajakan diharapkan mampu meningkatkan kesadaran wajib pajak dalam membayar, memungut/memotong, menyetorkan dan melaporkan kewajiban perpajakannya.

#ThinkBigWithHnG

You May Also Like