Penulis : Ryandika Abbel
Seiring dengan berkembangnya industri, pembangunan, serta perekonomian negara, banyak sekali dinamika perekonomian yang berdampak kepada perusahaan maupun orang perseorangan. Dinamika perekonomian yang dimaksud mungkin akan sangat terasa nyata apabila kita kembali pada masa krisis moneter yang dialami Indonesia.
Dengan nilai tukar USD 1 (satu dolar amerika serikat) yang setara dengan Rp17.000,00. (tujuh belas ribu rupiah) yang sebelumnya hanya setara Rp2.300,00 (dua ribu tiga ratus rupiah), tentu meningkatkan tingkat kebangkrutan perusahaan pada saat itu yang disebabkan oleh meningkatnya utang piutang akibat dari peningkatan suku bunga pinjam yang kurang lebih mencapai angka 200%.
Akibat dari hal tersebut, Pemerintah mengeluarkan adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan sebagai bentuk upaya untuk menyelesaikan utang piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif sehingga hingga saat ini, istilah “kepailitan” atau “pailit” menjadi sering terdengar, terutama apabila membicarakan suatu kondisi keuangan perusahaan. Namun, apa sesungguhnya kepailitan menurut hukum positif Indonesia? Apakah kepailitan dapat disamakan dengan kebangkrutan?
Definisi kepailitan
Kepailitan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU) dalam Pasal 1 angka 1 adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Debitor itu sendiri menurut Pasal 1 angka 3 UU KPKPU adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. Dengan adanya Debitor, maka ada pula yang menjadi Kreditor atau pihak berpiutang.
Lalu, apa yang dimaksud dengan “pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan”? Pelunasan yang dapat ditagih artinya utang tersebut telah jatuh waktu atau lebih jelasnya lagi, menurut penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU KPKPU adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu/tempo, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi, atau denda oleh instansi yang berwenang.
Dengan demikian, seseorang yang ingin memberikan permohonan pernyataan pailit atas suatu badan hukum atau orang perseorangan, juga harus memastikan bahwa piutangnya sudah dapat ditagih di muka pengadilan. Apabila sudah dapat dinyatakan dapat ditagih, apakah seseorang dapat langsung dipermohonkan untuk dinyatakan pailit?
Syarat kepailitan
Untuk melakukan permohonan, ada setidaknya 2 (dua) syarat penting untuk diketahui. Pertama, Debitor harus mempunyai dua utang atau lebih dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU.
Kedua, pada undang-undang yang sama, tepatnya Pasal 2 ayat 1 jo. Pasal 8 ayat 4, hutang harus “sederhana” yang artinya utang tersebut harus mudah untuk ditentukan jumlahnya dan utang tersebut adalah nyata. Lalu muncul pertanyaan, siapa saja yang dapat mengajukan permohonan pailit? dan siapa saja yang dapat diajukan permohonan pailit?
Berdasarkan Pasal 2 UU KPKPU, yang dapat mengajukan permohonan pailit adalah pihak Debitor atau Kreditor, Kejaksaan (untuk kepentingan umum), Bank Indonesia (jika Debitornya adalah Bank), Badan Pengawas Pasar Modal (jika Debitornya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian), dan Menteri Keuangan (jika Debitornya adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik). Kemudian, yang dapat diajukan permohonan pailit adalah orang perseorangan atau Badan Hukum Perdata.
Lantas, apakah kepailitan dapat dipersamakan dengan kebangkrutan?
Hal yang juga perlu diketahui adalah akibat hukum dari orang atau badan hukum perdata dinyatakan dalam keadaan pailit yang di antaranya yaitu, Debitor demi hukum akan kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dinyatakan harta pailit, upaya yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pailit merupakan utang harta pailit berdasarkan Pasal 39 ayat (2) UU KPKPU, dan berlakunya penangguhan terhadap pelaksanaan Hak Tanggungan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari berdasarkan Pasal 56 UU KPKPU.
Apabila suatu perusahaan kondisi keuangannya dalam keadaan sulit, maka dapat dikatakan suatu perusahaan mengalami kebangkrutan yang bisa disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah terlilit utang. Akan tetapi, belum tentu perusahaan tersebut memiliki status pailit. Sebab, status kepailitan suatu perusahaan baru dapat dinyatakan setelah adanya putusan Pengadilan Niaga, dalam kata lain, maka perlu terlebih dahulu adanya permohonan pailit dari salah satu dari 2 (dua) atau lebih Kreditor kepada Pengadilan Niaga.
Sehingga dapat disimpulkan, bahwa kepailitan dengan kebangkrutan tidak selalu dapat dipersamakan. Kebangkrutan adalah suatu kondisi keuangan, sementara kepailitan adalah status hukum berdasarkan putusan Pengadilan Niaga, sehingga hak-hak Debitor yang dinyatakan pailit serta Kreditornya dalam hal utang piutang akan terjamin oleh undang-undang setelah adanya putusan dari Pengadilan Niaga. Sebab, ada potensi hak-hak dari Debitor yang dalam kondisi keuangannya sedang bangkrut dapat dilanggar oleh Kreditor. Begitu pula sebaliknya, hak Kreditor untuk menagih utang kepada Debitor bisa saja dilanggar oleh Debitor. Oleh karena itu, permohonan pailit itu sendiri tidak hanya dapat diajukan oleh pihak Kreditor selaku yang berpiutang, tetapi juga pihak Debitor yang berutang.
#ThinkBigWithHnG