GOTO vs GoTo: Langkah DJKI Tepat atau Tidak?

Penulis : Kenny P. & Shrevilia T.


Kronologi gugatan

Pada 2 November 2021 lalu, kita dikejutkan dengan munculnya gugatan yang dilayangkan oleh PT Terbit Financial Technology (PT TFT) terhadap PT Aplikasi Karya Anak Bangsa dan PT Tokopedia (Gojek-Tokopedia) perihal sengketa penggunaan merek. Sebelumnya, Gojek telah resmi mengajukan permohonan merek ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) pada 2 September 2021 atas merek GoTo. Pengajuan merek tersebut diloloskan oleh DJKI dan Gojek-Tokopedia mendapatkan “sebagian” mereknya.

Sedangkan, pendaftaran merek menganut beberapa prinsip, yakni first-to-file, teritorialitas, dan prinsip kekhususan. Selain itu, Pasal 21 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 Merek dan Indikasi Geografis (UU MIG) telah melarang pendaftaran merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek yang telah dimohonkan terlebih dahulu oleh pihak lain. Apa yang sebenarnya dimaksud dari prinsip-prinsip tersebut? Lalu, apa sebenarnya yang mengakibatkan merek GoTo diterima pendaftarannya? Simak artikel berikut ini.

Dalam proses pendaftaran merek, DJKI tidak hanya berpegangan pada prinsip first-to-file, melainkan juga memperhatikan  prinsip teritorialitas dan prinsip kekhususan. Prinsip first-to-file adalah prinsip yang menegaskan bahwa hak atas merek diberikan kepada pihak yang lebih dulu mendaftarkan merek tersebut. Di sisi lain, prinsip teritorialitas adalah suatu pedoman yang menekankan bahwa perlindungan suatu merek terbatas pada ruang lingkup negara dimana merek tersebut didaftarkan.

Sedangkan, prinsip kekhususan berbicara mengenai perlindungan merek terbatas pada jenis barang dan/atau jasa yang tercatat dalam sertifikat merek. Jika dikaitkan kembali kepada kasus GOTO vs GoTo, maka artikel ini hanya akan berfokus pada prinsip first to file dan prinsip kekhususan.

Penyelesaian sengketa

Sebagaimana telah dijelaskan mengenai prinsip first-to-file, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia akan menerbitkan sertifikat Merek jika permohonan merek diterima. Bilamana di kemudian hari terdapat persamaan merek dengan merek yang sudah ada, maka permohonan merek pihak yang baru akan mendaftar berkemungkinan ditolak berdasarkan prinsip first-to-file. Serupa dengan prinsip first-to-file, prinsip kekhususan berbicara tentang hak eksklusif pemilik merek dalam penggunaan mereknya. Hak eksklusif yang dimaksud adalah hak ekonomi atas barang dan/atau jasa yang telah didaftarkannya, dimana pemilik merek dapat menggunakan haknya untuk mencegah atau mengizinkan pihak ketiga dalam menggunakan hak ekonomi atas merek tersebut.

Dalam kaitannya dengan kasus GOTO vs GoTo, permohonan merek GOTO telah diterima pada 10 Maret 2020 dan GoTo pada 2 September 2021, sehingga GOTO lebih dahulu mendaftarkan mereknya. Oleh sebabnya, wajar bila GOTO melayangkan gugatan akibat merasa dirugikan, baik secara materiil maupun immateriil sebagai bentuk penerapan prinsip first-to-file.

Jika GoTo mendaftarkan merek yang sama atas barang dan/atau jasa sejenis dengan GOTO, maka wajar bila GOTO menggugat GoTo sebagai bentuk penerapan prinsip kekhususan, yang mana GOTO dapat mencegah GoTo dalam menggunakan hak ekonomi atas merek yang serupa dengan miliknya.

Selain prinsip-prinsip di atas, DJKI juga berpegang pada Pasal 21 ayat (1) huruf a UU MIG yang mengatur bahwa permohonan atas merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain harus ditolak. Salah satu bentuk “persamaan pada pokoknya” adalah persamaan bunyi ucapan. Namun demikian, sebelum adanya merek GoTo, telah terdapat  merek “goto” milik PT Pilar Niaga Makmur serta merek “GOTO>SHOP” milik PT OKESHOP, yang mana hal ini bertentangan dengan maksud “persamaan pada pokoknya” sebagaimana disebutkan.

Kemudian, pihak PT TFT juga beberapa kali mengklaim perihal kelas 42 dimana mereknya terdaftar. Kelas barang dan/atau jasa dalam pendaftaran merek merupakan pengklasifikasian barang dan/atau jasa atas merek yang dimohonkan. Terdapat dua kelompok kelas, yakni kelas barang dan kelas jasa, yang keduanya diatur berdasarkan sistem NICE Classification. Merek GOTO terdaftar pada kelas 42, sedangkan GoTo pada kelas 9, 36, 39.

Namun sebelumnya, GoTo pernah didaftarkan pada kelas 42. Atas hal tersebut, Irfan Melayu, Kuasa hukum PT TFT, mengatakan bahwa GOTO sudah didaftarkan terlebih dahulu pada kelas 42. Selain itu, Gojek-Tokopedia yang menggunakan GoTo sebelum didaftarkan ke DJKI juga merupakan bentuk pelanggaran atas merek sejenis lainnya yang sudah terdaftar, salah satunya adalah GOTO. Oleh karenanya, PT TFT melayangkan gugatan terhadap Gojek-Tokopedia dengan berdasarkan pada Pasal 100 dan 102 UU MIG atas persamaan pada pokoknya atau secara keseluruhan dengan merek GOTO.

Uniknya, kuasa hukum PT TFT beberapa kali menekankan bahwa pelanggaran yang Gojek-Tokopedia lakukan berkaitan dengan pendaftaran GoTo pada kelas 42 yang telah didaftarkan terlebih dahulu oleh PT TFT. Namun, jika kita kembali melihat ke Pasal 21 UU MIG, permohonan pendaftaran merek akan ditolak jika terdapat persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan barang dan/atau jasa sejenis.

Artinya, diterima atau ditolaknya merek sejenis tidak bergantung pada kelas mana yang didaftarkan, melainkan jenis dari barang dan/atau jasa yang didaftar atas merek tersebut. Hal ini juga dikukuhkan oleh pernyataan Kurniaman, Direktur Merek dan Indikasi Geografis, bahwa penekanan dari Pasal 21 ayat (1) huruf a UU MIG adalah barang dan/atau jasa sejenis, bukan sekelas. Beliau pun menyebutkan bahwa permohonan pendaftaran merek atas GoTo pun diterima oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual karena barang dan/atau jasanya tidak sejenis dengan GOTO milik PT TFT.

Putusan pengadilan

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa penerimaan merek GoTo oleh DJKI tidaklah melanggar kaidah-kaidah yang ada dalam peraturan perundang-undangan. Sebab DJKI juga telah mengklarifikasi bahwa dari beberapa permohonan yang diajukan oleh Gojek-Tokopedia, terdapat beberapa permohonan yang ditolak karena memiliki kesamaan dengan perlindungan barang/jasa merek milik PT TFT.

Di samping itu, diterima atau ditolaknya merek perlu ditinjau dari barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, bukan hanya dari kelasnya. Bisa saja berbeda kelas tapi memiliki barang dan/atau jasa yang sejenis ataupun sebaliknya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa DJKI telah menerapkan Pasal 21 ayat (1) huruf a UU MIG dengan baik. Namun demikian, tentunya kita tetap harus menghormati pertimbangan dan putusan yang akan dikeluarkan oleh Hakim Agung.

#ThinkBigWithHnG

You May Also Like