Penulis: Natalie Syaina Abitta
JAKARTA, HnG Insight – World Bank menilai penerapan pajak karbon di Indonesia pada tahun pertama hanya menghasilkan penerimaan pajak sebesar Rp200 miliar.
Dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), penetapan pajak karbon telah diatur dengan tarif senilai Rp30.000 per ton CO2 ekuivalen.
“Tarif pajak karbon yang diusulkan sangat rendah dan diperkirakan memberikan dampak kecil terhadap pendapatan dan pengurangan emisi dalam jangka pendek,” tulis World Bank dalam laporannya, dikutip Selasa (6/8/2024).
Usulan tarif pajak karbon di Indonesia dinilai sangat kecil apabila dibandingkan dengan negara lain. Singapura, contohnya, menerapkan tarif pajak karbon senilai USD 25 atau Rp 406.740 per ton CO2 ekuivalen.
Lebih lanjut, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi satu-satunya objek pajak yang dikenakan pajak karbon pada tahun awal penerapan pajak tersebut. Meskipun begitu, kebanyakan batu bara diekspor ke luar negeri sehingga tidak dikenakan pajak karbon.
“Sekitar 80% batu bara diekspor ke luar negeri dan sisanya akan dikonsumsi oleh sektor energi di dalam negeri,” sebut World Bank
Terlepas dari penundaan penerapan pajak karbon, Indonesia dinilai memiliki komitmen dalam mencapai nationally determined contribution (NDC) pada 2030 dan net zero emission pada 2060.
Sebagai informasi, roadmap pajak karbon telah disiapkan oleh pemerintah. Pajak karbon akan dikenakan pertama kali atas sektor pembangkit listrik dan setelahnya akan berfokus pada sektor transportasi yang masih menggunakan bahan bakar fosil.
Cek berita dan artikel lainnya di sini