Penulis: Jasmine Serena
Melalui forum dialog Sarasehan Ekonomi yang digelar Selasa, 8 April 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan rencana percepatan peresmian kebijakan trade remedies yang ditujukan untuk melindungi pelaku industri dalam negeri.
Secara umum trade remedies hadir sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian akibat praktik perdagangan yang tidak adil. Bagi banyak negara, kebijakan ini dilihat sebagai tameng perlindungan terhadap masuknya barang impor yang berpotensi merusak pasar domestik.
Perumusan kebijakan yang dilakukan secara kolaboratif antara Kementerian Keuangan dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian ini diproyeksikan akan terbit dalam waktu 15 hari kerja. Padahal jika mengacu pada landasan hukumnya, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, jangka waktu bagi Menteri Keuangan dalam menetapkan trade remedies adalah 30 hari kerja sejak diterimanya dokumen usulan dari Menteri Perdagangan.
Percepatan perumusan kebijakan ini sejatinya merupakan bentuk respons Indonesia terhadap kebijakan bea masuk resiprokal yang diberlakukan oleh Amerika Serikat di era Presiden Donald Trump. Kenaikan tarif ini berpotensi mendistorsi pelaku industri lokal dalam melakukan kegiatan ekspor, terlebih pada produk ekspor unggulan seperti baja, aluminium, dan tekstil. Tanpa payung hukum yang kuat dan cepat, Indonesia bisa menjadi sasaran kebijakan balasan, sementara di sisi lain, tidak memiliki instrumen legal memadai untuk membalas atau melindungi pasar domestik.
Selain itu, masuknya barang impor dalam jumlah besar dan harga murah ke pasar Indonesia juga jadi alasan utama. Dalam beberapa sektor—seperti petrokimia, baja ringan, dan produk tekstil—industri dalam negeri mengaku sulit bersaing karena membanjirnya produk dari negara-negara dengan subsidi ekspor tinggi. Tanpa intervensi cepat, pemerintah berisiko kehilangan momentum untuk menyelamatkan sektor strategis dari kebangkrutan.
Sebagai anggota World Trade Organization (WTO), Indonesia berhak dan telah menerapkan kebijakan trade remedies, contohnya dalam PP No. 34 Tahun 2011 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 48 Tahun 2024 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan terhadap Impor Produk Kain. Namun, implementasinya masih membutuhkan optimalisasi.
Data dari Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) menunjukkan bahwa dibandingkan negara-negara tetangga seperti India, Vietnam, atau bahkan Malaysia, jumlah kasus pengajuan tindakan antidumping dan safeguard dari Indonesia jauh lebih sedikit. Banyak pelaku industri tidak tahu cara mengajukan perlindungan, atau merasa prosesnya terlalu lama dan birokratis. Hal ini membuat pelaku usaha lokal merasa kurang dilindungi, meski kerugian akibat praktik dumping sudah nyata di depan mata.
Kebijakan percepatan ini diharapkan tak hanya mempercepat proses administratif, tetapi juga mendorong reformasi kelembagaan dalam pengelolaan trade remedies secara menyeluruh. Pemerintah juga disebut sedang menyiapkan sistem pelaporan yang lebih mudah diakses industri, termasuk edukasi teknis tentang mekanisme pengajuan.
Percepatan kebijakan trade remedies bukan hanya langkah antisipatif terhadap gejolak perdagangan global, tapi juga bentuk konkret keberpihakan pemerintah terhadap industri nasional. Dalam era kompetisi yang makin sengit, negara tak cukup hanya membuka pasar—ia juga harus mampu melindungi ruang tumbuh industri dalam negerinya dari praktik yang tidak adil. Didukung dengan kerangka hukum yang kuat dan komitmen lintas lembaga, trade remedies dapat menjadi penopang utama ketahanan industri.
Cek berita dan artikel lainnya di sini