Penulis: Ahmad Syakhir, Helen Andreani & Nanda Devira
Program Pengungkapan Sukarela (PPS) telah dilaksanakan di Indonesia sejak 1 Januari 2022 dan akan berakhir sebelum 30 Juni 2022. PPS merupakan program pemerintah bagi Wajib Pajak untuk melaporkan serta mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela.
Program Pengungkapan Sukarela (PPS) ini ditujukan bagi peserta Tax Amnesty yang belum mengungkapkan hartanya dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang belum mengungkapkan hartanya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Program ini harus disosialisasikan kepada masyarakat umum, khususnya Wajib Pajak. Peluang ini dapat dimanfaatkan oleh Wajib Pajak untuk menghindari sanksi kenaikan 200% untuk total aset yang tidak dilaporkan dan ditemukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Faktor yang melatarbelakangi munculnya kebijakan Program Pengungkapan Sukarela
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya kebijakan Voluntary Disclosure Program atau Program Pengungkapan Sukarela (PPS), menurut Suryo Utomo, Dirjen Pajak. Faktor pertama, berdasarkan data tahun 2021, hanya sebanyak 736.093 Wajib Pajak Orang Pribadi atau 3,88% dari total Wajib Pajak Orang Pribadi yang menyampaikan SPT Tahunan. Oleh karena itu, kemungkinan Wajib Pajak untuk tidak mengikuti program Tax Amnesty sangat tinggi dan harus ditingkatkan. Kedua, mengingat uang tebusan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak peserta Tax Amnesty masih jauh dari target. Hanya mencapai sekitar Rp165 triliun. Ketiga, Jika dilihat dari total aset Wajib Pajak yang direpatriasi dari luar negeri hanya Rp146 triliun, yang seharusnya mencapai Rp1.000 triliun. Terakhir, Harta yang dideklarasikan di dalam negeri hanya Rp3.700,8 triliun, membuktikan bahwa kepatuhan pajak di dalam negeri sangat rendah dan perlu ditingkatkan lagi.
Perlukah Program Pengungkapan Sukarela diadakan kembali?
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyatakan bahwa Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau Tax Amnesty jilid II yang berakhir pada 30 Juli 2022 tidak akan dilanjutkan. Menteri Keuangan berjanji tidak akan mengadakan program tersebut lagi yang mana hal itu telah ditegaskan pada saat konferensi pers Program Pengungkapan Sukarela di kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Sri Mulyani berpendapat bahwa apabila Tax Amnesty ataupun Program Pengungkapan Sukarela dilakukan secara terus menerus akan menyebabkan perubahan paradigma kepatuhan Wajib Pajak dalam jangka panjang karena kemungkinan Wajib Pajak yang patuh dan tidak patuh akan terus mengharapkan adanya kebijakan pengampunan pajak yang sama pada tahun-tahun berikutnya. Hal tersebut tentunya akan mengurangi kewibawaan Wajib Pajak dan kepercayaan terhadap otoritas pajak, sehingga Wajib Pajak dapat menyepelekan kepatuhan mereka dalam membayar pajak.
Program Pengungkapan Sukarela seharusnya tidak dilaksanakan kembali setelah adanya program-program pengungkapan pajak pada periode sebelumnya. Sesuai dengan dimensi komitmen yang kredibel (Credible Commitment). Levi (1998) mendefinisikan credible commitment sebagai kepentingan gabungan para aktor dalam pemerintah untuk bertindak sesuai dengan standar tertentu (Levi, 1998).
Ketika mengukur dimensi komitmen yang kredibel dalam PPS, komitmen yang dibahas adalah upaya pemerintah dalam melaksanakan PPS dengan mementingkan kepentingan masyarakat. Indikator lainnya adalah konsistensi dalam mengutamakan kepentingan masyarakat dengan adanya pelaksanaan PPS ini. Menurut Hardin (1998), kepercayaan tidak dapat dicapai jika seseorang tidak memperhitungkan kepentingan orang lain dalam mengambil tindakan.
Ketidaksesuaian Program Pengungkapan Sukarela
Dalam praktiknya, terdapat permasalahan implementasi Program Pengungkapan Sukarela yang bertentangan dengan indikator konsistensi pemerintah pusat dalam upaya meningkatkan kepatuhan pajak. Hal ini dapat dilihat dari adanya Pasal 8 Ayat (3) dan (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Berdasarkan kedua ayat tersebut, pengungkapan sukarela yang dilakukan oleh Wajib Pajak terhadap ketidakbenaran perbuatannya dalam kewajiban pengisian SPT, tetap dikenakan sanksi sebesar 150% dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
Namun, dengan adanya PPS yang memiliki konsep yang sama dengan kedua ayat tersebut, yaitu pengungkapan secara sukarela ketidakbenaran dalam mengisi SPT, konsistensi pemerintah pusat patut dipertanyakan mengingat dengan adanya program ini, berlaku tarif PPh final yang dikenakan atas harta tersebut yang tentunya jauh lebih rendah nominalnya jika dibandingkan dengan sanksi sebesar 150% sesuai yang dicantumkan dalam Pasal 8 Ayat (3) UU KUP.
Oleh karena itu, melihat dari adanya ketidakkonsistenan pemerintah terkait peraturan pendahulu dan kebijakan di Program Pengungkapan Sukarela dan program lain yang sejenis dengan pengampunan pajak, program ini sebaiknya tidak dilaksanakan lagi di masa mendatang. Jika memang program pengampunan pajak dijustifikasi untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, sebaiknya disertai juga dengan penegakan hukum yang kuat dan pasti. Akan tetapi, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat ketidaksesuaian yang akan menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat umum, yang pada akhirnya akan berdampak juga kepatuhan wajib pajak.
#ThinkBigWithHnG