Penulis : Zakky Ashidiqi
Desentralisasi Fiskal adalah pelimpahan wewenang kepada daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan ekosistem investasi daerah. Namun, fakta empiris menunjukkan bahwa daerah masih berhadapan dengan persoalan PAD rendah dan ekosistem investasi yang kontraproduktif dengan semangat penguatan daya saing daerah. Sehingga diharapkan dengan adanya Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) memberikan iklim reformatif pada praktik pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Namun apakah UU HKPD ini dapat mensejahterakan masyarakat atau justru berdampak terhadap kerugian di masyarakat.
Salah satu pajak yang mengalami pembaruan cukup signifikan dalam UU HKPD adalah Pajak atas Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan(PBB-P2). Pajak tersebut merupakan pajak yang dikenakan atas kepemilikan hak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, diluar kawasan yang digunakan untuk perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Pajak ini memiliki sejarah panjang sejak awal diundangkan dalam UU No 12 Tahun 1985 dan perubahannya pada UU No 12 Tahun 1994, hingga mengalami peralihan kewenangan pemungutan dan pengelolaan dari Pemerintah kepada Daerah dalam UU PDRD.
Namun, pada UU PDRD, terdapat peningkatan beban pajak yang ditanggung oleh masyarakat yang membayarkan PBB-P2. Dengan adanya tarif maksimal sebesar 0,3%, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang dikenakan pajak adalah sebesar 100% dari NJOP dikurang NJOP tidak dikenakan Pajak. Padahal dalam UU PBB sebelumnya, tarif sebesar 0,5% dikenakan terhadap Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) dengan persentase paling rendah adalah 20% dari NJOP. Dari hal tersebut, dapat dilihat bahwa pengaturan PBB yang diatur dalam UU PDRD tidak memperhatikan segi ability-to-pay dari Wajib Pajak. Oleh karena itu, pemerintah berusaha mengevaluasi peraturan tersebut dengan menerbitkan UU HKPD.
Perbedaan pengaturan PBB P2 dalam UU HKPD
UU No. 28 Tahun 2009 | UU No. 1 Tahun 2022 | Penjelasan |
Tidak diatur | Pasal 38 ayat 2:
Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan. |
Menambahkan definisi objek bumi termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan. |
Pasal 77 ayat 3:
Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah objek pajak yang: (a) digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan; |
Pasal 38 ayat 3:
Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/ atau pemanfaatan atas: (a) Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah; (g) Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit, atau yang sejenis; (h) Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Daerah; dan (i) Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah. |
Penambahan frasa “dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah” yang artinya apabila tidak dicatat sebagai BMN/D tidak termasuk kriteria yang dikecualikan. Dan terdapat penambahan beberapa pengecualian untuk poin (g), (h), dan (i) |
Tidak diatur | Pasal 40 ayat 2:
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2 |
Mempertegas terkait perhitungan NJOP berdasarkan proses penilaian PBB-P2 oleh Pemerintah Daerah. |
Tidak diatur | Pasal 40 ayat 5:
NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) |
Dalam perhitungan PBB P2 terutang dikenakan atas dasar (NJOP – NJOPTKP) x Assessment ratio. Hal ini serupa dengan perhitungan PBB-P3 (UU PBB) yang menggunakan NJKP sebagai dasar pengenaan pajak |
Pasal 80 ayat 1:
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% (nol koma tiga persen). |
Pasal 41 ayat 1:
Tarif PBB-P2 ditetapkan paling tinggi sebesar 0,5% (nol koma lima persen). |
Perubahan tarif PBB-P2 menjadi 0,5% |
Tidak diatur | Pasal 41 ayat 2:
Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan lebih rendah daripada tarif untuk lahan lainnya. |
terdapat fasilitas pengurangan tarif untuk sektor tertentu |
Kesimpulan
Dengan diundangkannya UU HKPD memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah Daerah dalam menerapkan assessment terhadap Wajib Pajak untuk menerapkan besaran rasio tarif efektif PBB yang ditetapkan oleh Perda dan besaran NJOP dengan kemampuan membayar wajib pajak (ability to pay) sebagaimana diatur dalam pasal 40 ayat (5) UU HKPD bahwa besaran PBB P2 yang terutang dihitung dengan mengalikan NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak ditetapkan paling rendah 20% dan paling tinggi 100%.
Namun UU HKPD bukan tanpa celah, pada Pasal 41 ayat (1) UU HKPD terdapat dispute karena tidak menjelaskan secara rinci mengenai pemisahan tarif bagi kepentingan usaha berbeda, seperti usaha dengan tarif pribadi serta tidak adanya kriteria secara rinci bagaimana penetapan persentase tarif Pajak Bumi dan Bangunan. Sehingga Perlu adanya penyesuaian kembali terutama pada indikator kriteria tarif batas maksimal (assessment rasio) agar tidak merugikan pelaku usaha di tiap daerah. Pelaku usaha nyatanya memiliki peran krusial dalam hal peningkatan pendapatan daerah dan negara. Selain itu, aspek kepastian hukum terkait penjelasan definisi dari peraturan yang diundang-diundangkan.
Oleh karena itu dari aspek keadilan, melihat dari ability to pay, walaupun terjadi kenaikan tarif tetapi ada penyesuain dalam menghitung NJOP. Kami mendukung bahwa UU HKPD dari aspek keadilan lebih baik daripada UU PDRD yang lama. Sebab dengan adanya assessment ratio lebih mencerminkan ability to pay Wajib Pajak. Namun masih diperlukan penyempurnaan terkait aturan lain dan penjelasan definisi peraturan sehingga lebih mencerminkan asas kepastian hukum.
Simulasi perhitungan:
*dalam satuan jutaan rupiah
Diketahui:
NJOP Bumi : Rp1.000
NJOP Bangunan : Rp500
NJOPTKP : Rp10
UU No. 28 Tahun 2009 | UU No. 1 Tahun 2022 |
NJOP Bumi : Rp1.000
NJOP Bangunan : Rp500 + : Rp1.500 NJOPTKP : (Rp10) NJOP : Rp1.490 Tarif PBB (0,3%) : 0,3% PBB terutang : Rp4,47 juta Effective rate : 0,3% |
Asumsi assessment ratio NJOP 20%
NJOP Bumi : Rp1.000 NJOP Bangunan : Rp500 + : Rp1.500 NJOPTKP : (Rp10) NJOP : Rp1.490 Assessment ratio : 20% NJKP : Rp298 Tarif PBB (0,5%) : 0,5% PBB Terutang : Rp1,49 juta Effective rate : 0,1% Asumsi assessment ratio NJOP 100% NJOP Bumi : Rp1.000 NJOP Bangunan : Rp500 + : Rp1.500 NJOPTKP : (Rp10) NJOP : Rp1.490 Assessment ratio : 100% NJKP : Rp1.490 Tarif PBB (0,5%) : 0,5% PBB Terutang : Rp7,45 juta Effective rate : 0,5% |
Dari perbandingan kedua perhitungan tersebut, dapat dilihat bahwa penerapan PBB dalam UU HKPD lebih memperhatikan ability to pay dari Wajib Pajak. Pengenaan PBB terhadap NJKP hasil penilaian akan dinilai lebih adil bagi masyarakat. Dengan melakukan penilaian NJOP untuk menetapkan NJKP, Pemerintah kembali menggunakan sistem yang sebelumnya telah digunakan pada UU PBB (UU No. 12 tahun 1985 jo UU No. 12 Tahun 1994), yang mana sempat dihilangkan pada UU PDRD (UU No. 28 tahun 2009). Hal lain yang perlu diperhatikan pemerintah dalam penerapan UU HKPD ini adalah adanya peraturan turunan yang menunjang teknis pelaksanaan penilaian NJOP dan sebagai penjelasan atau pedoman atas mekanisme pemberlakuan peraturan tersebut bagi Wajib Pajak.
#ThinkBigWithHnG