Penulis : Shofiya Febriani
Sudah dua tahun lebih masyarakat kita terkurung bagai burung dalam sangkar. Setelah penantian waktu yang lama akan kabar bahagia tentang kapan pandemi covid-19 ini akan berakhir, kita bersiap untuk mengepakkan sayap pergi ke tempat-tempat yang kita senangi. Seperti terbang ke Bali atau Labuan Bajo mungkin dapat menyegarkan suasana pikiran kita, atau bahkan berkunjung ke negara tetangga sambil menginap sehari dua hari lamanya dapat memberikan pengalaman baru pasca pandemi. Tak mengherankan jika proyeksi yang dilakukan oleh BPS untuk tahun 2022 menunjukkan mobilitas wisatawan nusantara di angka 550 juta.
Potensi di sektor pariwisata
Kenaikan potensi di sektor pariwisata juga tidak terlepas dari terus bertumbuhnya kelas menengah di Indonesia. Dengan begitu, terjadilah penambahan kebutuhan menjadi empat kebutuhan, yakni sandang, pangan, papan, dan jalan-jalan. Kurleni Ukar selaku Deputi Bidang Kajian Strategis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menuturkan bahwasannya kegiatan pariwisata wisnus akan didominasi oleh generasi z dan generasi milenial. Hal ini sejalan dengan fenomena healing yang sedang tren di kalangan anak muda.
Healing secara harfiah berarti penyembuhan. Penyembuhan yang dimaksud adalah pemulihan diri dari kejadian buruk atau kelelahan emosi yang dialami. Namun di media sosial, istilah healing banyak diasosiasikan dengan agenda liburan kawula muda. Fenomena healing juga bisa dikaitkan dengan ekonomi nasional. Ekonomi nasional sedang berusaha untuk memulihkan dirinya pasca gempuran pandemi covid-19. Dengan kata lain, ekonomi nasional juga sedang melakukan healing.
Potensi penerimaan daerah
Agenda wisata bukan hanya menyangkut wisatawan semata. Hal ini juga menyangkut kepentingan pemerintah, terutama dari segi penerimaan. Kegiatan pariwisata erat hubungannya dengan penerimaan dari sektor perpajakan khususnya pajak daerah. Pajak daerah terkait pariwisata yaitu pajak atas jasa perhotelan, jasa hiburan, dan jasa restoran. Adanya proyeksi yang cerah harusnya membuat pemerintah daerah sumringah karena makin banyak wisatawan makin banyak juga pajak yang akan diterima oleh kas daerah. Namun, sayangnya kenyataan di lapangan biasanya tidak sejalan dengan ekspetasi.
Menilik dari program dana hibah pada tahun 2020 di sektor pariwisata, Maulana Yusran selaku Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), menilai program hibah ini belum optimal salah satunya karena permasalahan Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP). Sebagian hotel dan restoran tidak mendaftarkan diri menjadi TDUP sehingga tidak bisa menikmati hibah yang dianggarkan pemerintah. Permasalahan TDUP bukan hal baru bagi pemerintahan daerah. Tidak optimalnya pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pariwisata adalah karena belum semua hotel, restoran, dan tempat wisata mendaftarkan diri menjadi TDUP. Hal ini bisa berkaitan dengan tingkat kepatuhan atau bisa juga karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Dengan adanya digitalisasi, potensi pajak dari pariwisata idealnya makin besar. Tak perlu repot-repot blusukan mendata hotel, restoran, dan tempat rekreasi karena informasinya sudah ada di internet. Tak jarang harga yang ditawarkan di beberapa platform digital khusus untuk kegiatan pariwisata menawarkan harga yang murah untuk tiket serta penginapan.
Apakah harga paket wisata sudah termasuk pajak?
Pelaku usaha tidak perlu merasa dirampok penghasilannya karena pada hakikatnya pajak di sektor pariwisata adalah pajak atas konsumsi. Maka dari itu, setiap kebahagian yang didapatkan konsumen dari wisatanya, tentu ada harga yang harus dibayar beserta ada pajak yang harus dibayar. Pelaku usaha hanya bertugas untuk mengumpulkan dan menyetorkannya ke kas daerah. Namun, lagi-lagi ada hambatan saat pajak yang diterapkan membuat pelaku usaha takut kalah bersaing. Inilah urgensi pemerintah daerah untuk mendorong pelaku usaha memiliki TDUP sehingga antara pelaku usaha akan terjadi persaingan yang sehat serta terpenuhinya asas keadilan bagi wajib pajak- wajib pajak yang taat.
Jika pemerintah daerah serius ingin mengoptimalkan pajak di sektor pariwisata. Pemerintah harus membangun fondasi yang kuat dengan visi jangka panjang. Pemerintah harus secara masif mensosisalisasikan pendaftaran TDUP kepada para pelaku usaha. Ditambah dengan adanya digitalisasi, bukan hal yang sulit untuk menjaring pelaku usaha mana saja yang usahnya menjadi objek pajak, tetapi belum melaksanakan kewajiban perpajakannya. Jika yang menjadi ketakukan dari para pelaku usaha adalah melambungnya harga akibat pajak, harus disiasati dengan kebijakan pemerintah daerah yang sesuai.
Pariwisata dalam UU HKPD
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) hanya mengatur batasan paling tinggi dari tarif masing-masing objek pajak di sektor pariwisata, tetapi tarif pajak terhadap Dasar Pengenaan Pajak (DPP) bisa dilakukan penyesuaian melihat kondisi sosial ekonomi daerah masing-masing. Pemerintah daerah tidak perlu muluk-muluk menerapkan tarif tinggi jika akhirnya yang terjadi adalah kontraproduktif dan memberikan persepsi negatif kepada pelaku usaha.
Selanjutnya, harus ada keselarasan program dengan Kemenparekraf. Mesti ada pelatihan dan pembinaan serta program branding usaha agar usaha pariwisata berkembang, bukan nya malah tumbang. Selain itu, pertimbangan dalam pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) memperhatikan bahwa ada urgensi untuk menyempurnakan UU PDRD.
Dalam hal pajak pariwisata, UU PDRD mengatur pajak pariwisata meliputi pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan. Beda halnya, di UU HKPD terjadi penyederhanaan objek pajak di mana pajak sektor pariwisata masuk ke dalam kesatuan objek pajak Penyerahan Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) bersama pajak parkir dan pajak penerangan jalan yang menandakan bahwa kesatuan ini merupakan objek atas konsumsi dengan menggunakan terminologi penyerahan atas barang dan atau jasa yang mirip dengan PPN. Dengan dirombaknya UU PDRD, menurut Astera Primanto selaku Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, kita bisa berharap akan terjadi efisiensi layanan serta dapat meminimalkan biaya kepatuhan.
Dengan demikian, sosialisasi yang gencar mengenai TDUP kepada pelaku usaha, peluang akibat digitalisasi, keselarasan langkah pusat dan daerah, dan perubahan di UU HKPD harapannya dapat mengoptimalkan pajak sektor pariwisata terhadap PAD dan menciptakan penerimaan yang kokoh serta berkesinambungan.
#ThinkBigWithHnG