Penulis: Natalie Syaina Abitta
JAKARTA, HnG Insight – Maraknya jasa titip (jastip) barang dari luar negeri dianggap merugikan negara akibat kerap kali lolos dari pembayaran bea masuk serta pajak dalam rangka impor (PDRI).
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani berpendapat ramainya usaha jastip yang tidak membayar bea masuk dan pajak dinilai tidak adil bagi para pengusaha lain yang memasukkan barang secara legal. Sebagai solusi, DJBC bertekad terus memperkuat pengawasan.
“Usaha ini tidak adil bagi pengusaha legal yang sudah membayar pajak. Barang jastip ilegal kadang ditemukan di kantor pos, bandara dan pelabuhan,” imbuhnya, Selasa (14/2/2023).
Ketentuan perpajakan mengenai jastip diatur dalam PMK 203/2017. Adapun barang impor bawaan penumpang terdiri atas barang personal use dan barang selain non-personal use. Barang titipan jastip dapat diklasifikasikan sebagai barang non-personal use.
Sesuai PMK 203/2017, barang personal use berhak memperoleh fasilitas pembebasan bea masuk serta PDRI dengan nilai pabean maksimal free on board (FOB) US$500 per kedatangan.
Sebaliknya, barang non-personal use termasuk barang titipan jastip akan dikenakan bea masuk serta PDRI sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Lebih lanjut, barang bawaan yang tergolong non-personal use menggunakan dokumen Pemberitahuan Impor Barang Khusus (PIBK). Sedangkan barang bawaan personal use menggunakan Custom Declaration (CD) baik berupa data elektronik maupun formulir.
Meskipun dalam rangka menegakkan keadilan, ketentuan perpajakan jastip menuai banyak pro dan kontra masyarakat. Beberapa berpendapat pengenaan pajak tersebut akan memberatkan para pelaku usaha jastip yang masih tergolong kecil.
Illustrasi: Muhammad Irfan Firdaus
Cek berita dan artikel lainnya di sini