Certainty or Indeterminacy ? Kepastian Hukum Pengkreditan Pajak Masukan Pasca Core Tax

Penulis: Purnisa Damarani


Fakta bahwa pajak mendominasi struktur pembiayaan negara dapat membuktikan bahwa peran pajak sangat penting bagi penyelenggaraan tata negara, namun sedikit yang mengetahui bahwa dalam struktur pajak nasional didominasi oleh Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPh Nonmigas. Artinya jenis pajak tersebut memainkan peran kunci dalam penerimaan pajak. Stabilnya konsumsi dan pendapatan masyarakat, mencerminkan bahwa perekonomian Indonesia berkembang secara positif.

Dalam struktur pajak nasional, sistem pajak yang adil dan efisien tentu akan mendorong peningkatan penerimaan. Pengkreditan pajak masukan berfungsi untuk mengurangi kewajiban pajak keluaran, sehingga mendukung efisiensi dan penerimaan pajak negara.

Mengacu pada ketentuan umum yang berlaku, berdasarkan pasal 9 ayat (9) UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN & PPnBM) dimana pajak masukan dapat dikreditkan pada masa pajak yang berbeda, dengan ketentuan maksimal 3 bulan setelah terbitnya faktur pajak. Pemberlakuan kredit pajak dalam periode tersebut telah diterapkan sesuai yang diamanatkan dalam ketentuan yang berlaku.

Namun gejolak dinamika perpajakan akan terus menghadapi tantangan seiring perkembangan teknologi dan perubahan kebijakan yang pesat. Pada awal tahun ini, terjadi reformasi signifikan dalam administrasi perpajakan melalui penerapan core tax system.

Salah satu perbedaan utama dalam implementasi core tax adalah periode pengkreditan pajak masukan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Berdasarkan PMK No. 81 Tahun 2024 Pasal 375 ayat (1), pajak masukan harus dikreditkan dengan pajak keluaran dalam masa pajak yang sama. Meskipun PMK tersebut tidak secara eksplisit melarang pengkreditan pajak dalam periode berbeda, namun fitur dalam sistem core tax mengarah pada pengkreditan pajak yang dilakukan dalam masa pajak yang sama.

Perbedaan ketentuan tersebut tentu menimbulkan dualitas bagi PKP dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. Secara hierarkis, UU PPN dan PPnBM lebih kuat dibandingkan aturan yang berdasar pada PMK, sehingga pajak masukan masih dapat dikreditkan dalam masa pajak yang berbeda, yaitu tiga bulan setelah faktur pajak diterbitkan.

Menanggapi polemik ini, DJP telah merilis postingan di beberapa media sosial terkait periode pengkreditan sesuai UU PPN, namun postingan tersebut tidak dapat menjamin kepastian hukum bagi wajib pajak.

“The Four Maxims” sebuah teori yang dikemukakan oleh adam smith tentunya tidak asing bagi negara yang menerapkan sistem pemungutan pajak. Melalui bukunya yang berjudul “The Wealth of Nation” terdapat empat asas yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan sebagai pemungutan pajak yang ideal, salah satunya adalah asas certainty atau asas kepastian hukum

Pada akhirnya di tanggal 20 Februari 2025, DJP resmi mengeluarkan Keterangan Tertulis Nomor KT-8/2025 yang menegaskan kembali diperbolehkannya pengkreditan pajak masukan maksimal 3 bulan setelah faktur pajak diterbitkan, serta pembaruan informasi terkait pengkreditan pajak masukan dalam sistem core tax yang mengakomodasi ketentuan tersebut. Meskipun dalam Surat keterangan tersebut juga menyatakan bahwa belum memerlukan perubahan atas PMK No. 81 tahun 2024 sehingga hingga saat ini ketentuan tersebut masih berlaku.

Cek berita dan artikel lainnya di sini 

You May Also Like