Penulis : Daffa Zulfa Yudhanto, Nabiilah Nur Shabrina Ekaputri & Rahma Alifatu Zahro
Pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan salah satu pihak yang terdampak pandemi Covid-19 pada sektor perekonomian (Ade Onny, 2021). Pada kenyataannya, sektor UMKM merupakan salah satu sektor usaha yang dinilai berpotensi tinggi dalam memberikan kontribusi sebesar 60,34% selama lima tahun terakhir terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia (Afuan, 2020). Hasil data ini menunjukkan bahwa sebagian besar perekonomian di Indonesia didominasi oleh sektor UMKM.
Di sisi lain, kondisi Pandemi Covid-19 turut memberikan dorongan bagi pelaku UMKM untuk membangun usaha dan berbondong-bondong dalam mengembangkan usahanya. Hal ini disebabkan karena pemerintah memberikan fasilitas kebijakan pemulihan ekonomi di Indonesia. Dari sisi perpajakan, pemerintah turut berupaya untuk meningkatkan penerimaan pajak dari pelaku UMKM melalui penerbitan kebijakan secara bertahap dan mengalami perubahan dalam tujuan meringankan pajak sektor UMKM. Peraturan yang sebelumnya telah diterbitkan, diantaranya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018.
Penerimaan Pajak Sektor UMKM
Berdasarkan hasil analisis oleh Astri (2013), dinyatakan bahwa jumlah penerimaan pajak sektor UMKM sesuai ketentuan PP No 46 Tahun 2013 terus mengalami peningkatan pada setiap bulannya. Disamping itu, dalam penerapan ketentuan PP No 23 Tahun 2018, jumlah penerimaan pajak sektor UMKM mengalami penurunan pada tahun 2019 (Jarnuzi, 2020). Atas perbandingan hasil ketentuan tersebut, dapat disimpulkan meskipun banyaknya kehadiran fasilitas kebijakan yang telah diberikan oleh pemerintah, pelaksanaan pemungutan pajak pada sektor UMKM belum dapat menghasilkan jumlah penerimaan yang maksimal.
Selain itu, Pemerintah mengharapkan pelaku UMKM dapat melaksanakan kewajibannya secara sukarela sehingga tingkat kepatuhan pajak dapat meningkat secara konsisten. Namun, dalam menilai tingkat kepatuhan, diperlukan pertimbangan dari segala aspek, baik dari segi penerapan tarif Pajak Penghasilan (PPh), pengetahuan dan pemahaman perpajakan, serta efektivitas sistem perpajakan (Nathania, Titiek, Faiz, 2021).
Fasilitas Perpajakan untuk UMKM
Sebagai pengaplikasiannya, pemerintah mengundangkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dimana salah satu ketentuan yang diubah adalah ketentuan UU PPh. Pemerintah melakukan penambahan pasal berupa Pasal 7 Ayat (2a) pada UU PPh. Ayat tersebut mengatur bagi WP OP UMKM yang memiliki omzet di bawah Rp500 juta dalam satu tahun pajak tidak perlu melakukan pembayaran PPh final.
Sementara itu, bagi WP OP UMKM yang memiliki omzet diatas Rp500 juta dalam satu tahun pajak, beban pajaknya dapat diringankan karena tidak perlu membayar PPh final 0,5% atas bagian dari penghasilan Rp500 juta tersebut. Kebijakan ini tidak jauh berbeda dengan aturan pemajakan di sektor UMKM yang pernah ada, salah satunya yang terakhir adalah PP Nomor 23 Tahun 2018. Keduanya masih sama dikenakan bagi UMKM yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak. Perbedaannya hanya pada batasan peredaran bruto tidak kena pajak khusus bagi WP OP UMKM sampai dengan 500 juta, yang tidak diatur di dalam kebijakan sebelumnya.
Sekilas terkait PP 23 Tahun 2018
Berkaca pada kebijakan sebelumnya yang pernah diterapkan, PP 23/2018 memiliki kontribusi terhadap peningkatan kepatuhan pajak WP. Pasalnya, menurut hasil penelitian Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pajak (2018) menyatakan bahwa penerimaan yang tumbuh sebesar 0,78% dari sektor pajak lainnya dipengaruhi oleh upaya ekstensifikasi melalui kebijakan PP 23/2018.
Hal ini didasarkan pada fakta bahwa UMKM saat itu mendominasi sumbangan bagi PDB. Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Wardani & Kartikasari (2020) bahwasanya semakin tingginya tingkat pemahaman dari WP, maka akan semakin tinggi pula kepatuhan perpajakannya. Namun, pencapaian tersebut terindikasi tidak mendapat pengaruh dari sosialisasi yang diberikan oleh pemerintah. Dalam penelitian yang sama, Wardani & Kartikasari (2020) menjelaskan bahwa sosialisasi terkait PP 23/2018 tidak memiliki pengaruh terhadap peningkatan pemahaman dari WP.
Sosilasiasi Kebijakan Pajak untuk Sektor UMKM
Berbicara dalam konteks sosialisasi, menurut Wardani & Kartikasari (2020) terdapat beberapa sarana yang digunakan oleh pemerintah untuk menyosialisasikan kebijakan PP 23/2018, yakni melalui sosialisasi langsung oleh pihak DJP, penyebarluasan media cetak, dan pemasangan spanduk. Secara umum, bentuk sosialisasi pemerintah dirasa belum berdampak penuh pada sikap dari WP dalam memenuhi pembayaran perpajakannya. Hal ini didukung dengan data yang menunjukkan bahwa dari sekian banyak pelaku UMKM hanya sebagian kecil yang telah mengerti akan pengetahuan perpajakan karena program sosialisasi pemerintah dinilai kurang disampaikan pada lingkungan kegiatan UMKM-nya (Afuan, 2020).
Sebagai bentuk perbandingannya, sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah terkait penyebarluasan informasi dalam kebijakan batasan peredaran bruto tidak kena pajak adalah melalui media sosial yang familiar. Hal ini menyiratkan bahwa pemerintah mampu melihat peluang dan potensi di tengah pembatasan sosial secara fisik melalui media sosial. Dasar argumen ini diperkuat oleh hasil wawancara yang dilakukan kepada salah satu pegawai Badan Kebijakan Fiskal (BKF) bahwa BKF saat ini menggunakan media sosialisasi melalui kanal media sosial Youtube BKF dan di kegiatan rutin setiap hari Jum’at, yakni nYibir fiskal melalui instagram dan Facebook. Namun, jika melihat fakta di lapangan, sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah dianggap belum mampu menyeluruh.
Sudah Tepatkah?
Mengacu pada perbandingan antara sosialisasi dalam kebijakan PP 23/2018 dan batasan peredaran bruto tidak kena pajak, jenis sosialisasi yang digunakan tidaklah berbeda secara substansi. Maksudnya, pemerintah masih tetap menggunakan media yang lumrah digunakan oleh masyarakat untuk memberikan pengetahuan secara umum terkait adanya kebijakan. Tidak dapat dimungkiri peran pemerintah sebagai stakeholder utama berperan besar meningkatkan pemahaman pelaku UMKM terkait kebijakan batasan peredaran bruto tidak kena pajak.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menambah intensitas sosialisasi agar informasi dapat menyentuh sekalipun lapisan terdalam di masyarakat. Suatu kebijakan tidak akan berhasil jika hanya dijalankan oleh pemerintah, tetapi masyarakat sebagai objek kebijakan sudah selayaknya mulai membuka mata terkait banyaknya kemudahan yang diberikan oleh pemerintah. Diharapkan ketika seluruh elemen bersinergi, perekonomian mampu pulih dan UMKM dapat bersinar kembali baik untuk tujuan perputaran roda ekonomi di masyarakat maupun pencapaian revenue productivity oleh pemerintah.
Dengan demikian, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) diharapkan dapat melakukan upaya sosialisasi secara lebih gencar dan tidak hanya sekedar direncanakan. Disamping itu, sosialisasi yang dilakukan perlu dilakukan secara menyeluruh dari setiap tingkatan pelaku UMKM secara detail dan mudah dipahami agar pelaku UMKM dapat memahaminya dengan mudah.