Program Pengungkapan Sukarela (PPS) Sebagai Politik Pembersih Kekayaan Konglomerat?

Penulis : Zakky Ashidiqi


Saat ini, dunia sedang mengalami wabah yang dialami secara global yang dikarenakan oleh virus COVID-19. Hal tersebut dipertegas dengan pernyataan dari World Health Organization (WHO) yang menetapkan wabah COVID-19 menjadi pandemi global.

Dalam memitigasi bencana, baik perencanaan atau penanganan, terdapat berbagai instrumen kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah, salah satunya melalui kebijakan fiskal berupa insentif perpajakan. Namun kebijakan pemberian insentif pajak yang diberikan secara terus-terus menerus akan memberikan efek menurunnya penerimaan pajak.

Terhitung sejak Maret 2020 awal pemberian insentif perpajakan sampai dengan Maret 2021, penerimaan pajak jumlahnya turun dari 241,6 triliun menjadi hanya sebesar 228,1 triliun atau turun sebesar 5,6 persen. Hal ini melatarbelakangi pemerintah untuk melaksanakan tax amnesty jilid II atau Program Pengungkapan Sukarela (PPS) sebagai upaya menyeimbangkan Kembali penerimaan pajak serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

Kilas balik tax amnesty jilid I

Pelaksanaan tax amnesty atau pengampunan pajak jilid I di Indonesia melalui UU No 11 Tahun 2016 secara umum terlaksana cukup baik dan berhasil walaupun tidak memenuhi target.

Realiasi penerimaan tebusan yakni diangka 130 Trilian atau sekitar 78% dari target total tebusan 165 Triliun oleh 965.000 wajib pajak yang mengikuti tax amnesty, namun jika dihitung dalam triliunan rupiah dari total deklarasi harta hingga akhir periode tax amnesty dibanding dengan negara lain, total deklarasi harta Tax Amnesty Indonesia sangat jauh lebih besar daripada Italia yang telah sukses menjalankan tax amnesty pada 2009 dengan total deklarasi harta Rp. 1179 Triliun.

Sedangkan total deklarasi harta di Indonesia sendiri menembus angka 4.813 Triliun. Namun tax amnesty dinilai tidak mempunyai payung hukum yang dapat menjadi landasan hukum implementasi tax amnesty, sehingga tax amnesty sendiri dianggap mencederai asas keadilan dan yang terakhir ialah tax amnesty memberi celah bagi para koruptor untuk mensucikan kekayaannya.

Tantangan Program Pengungkapan Sukarela

Berbicara tentang tantangan dalam pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) tidak jauh dengan bagaimana cara mengejar wajib pajak besar yang mengalihkan harta kekayaannya di luar negeri sebagai upaya BEPS (Base erosion and Profit Shifting) dan juga mencegah terjadinya non double taxation atau tidak adanya pemajakan sama sekali. Apalagi banyak wajib pajak besar tersebut yang membangun kerajaan bisnisnya di atas relasi koruptif dengan kekuasaan.

Sebagaimana dikutip Faisal Basri, menurut The Economist, Indonesia adalah negara terburuk ketujuh dalam hal hubungan kroni bisnis antara penguasa dan pengusaha. Crony- capitalism index kita menunjukkan, sekitar dua pertiga kekayaan yang dikuasai orang kaya Indonesia diperoleh karena kedekatannya dengan penguasa. Artinya, menangkap wajib pajak besar itu tidak mustahil dengan menyasar beberapa petinggi negeri kita sendiri, serta lingkaran bisnisnya. Inilah tantangan terbesar dari kebijakan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang secara esensi sama dengan tax amnesty.

Perlu kebijakan pendukung lainnya

Salah satu kebijakan pendukung pasca Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yaitu pemerintah harus dapat memburu wajib pajak nakal yang mengalihkan harta kekayaannya di luar negeri. Caranya dengan memanfaatkan data AEOI (Automatic exchange of Information). AEOI merupakan merupakan sistem pertukaran informasi keuangan secara otomatis yang dilakukan antar negara yang menerapkannya. 

Di era keterbukaan informasi ini, pemerintah harus membangun database dibidang perpajakan yang lebih komprehensif, terintegritas dan lebih kuat. Selain itu aggressive tax audit perlu diberlakukan sebagai upaya penegakan hukum kepada para wajib pajak nakal yang tidak memanfaatkan program ini. Dengan menegakkan hukum perpajakan tanpa pandang bulu dan melacak rekam jejak wajib pajak yang berada di negara asing, akan berimplikasi terhadap meningkatnya tax ratio dan mendorong kepatuhan wajib pajak lainnya.

Oleh karena itu pemerintah Indonesia harus dapat bernegosiasi demi memanfaatkan AEoI sebagai media pertukaran yang menguntungkan dengan negara tax haven atau negara yang dengan tarif pajak yang rendah. Sebab negara Indonesia memiliki tarif pajak yang masih diatas rata-rata dibandingkan negara tax haven. Hal ini jelas juga mempengaruhi daya tawar dalam bernegosiasi membuat perjanjian AEoI.

#ThinkBigWithHnG

You May Also Like