Penundaan Pajak Karbon, Bagaimana Dampaknya?

Penulis : Satria Rizky Aviory


Pajak Karbon (Carbon Tax) adalah pajak yang dikenakan kepada kegiatan produksi dan pemakaian barang atau jasa yang menghasilkan emisi karbon. Emisi karbon banyak terdapat pada bahan bakar hidrokarbon seperti minyak bumigas alam dan batubara.

Pemakaian bahan bakar hidrokarbon menghasilkan gas Karbon dioksida (CO2) gas ini termasuk dalam kategori gas rumah kaca (GRK). GRK inilah yang menyebabkan pemanasan global dan dapat berujung menjadi krisis iklim, maka dari itu diberlakukannya pajak karbon adalah untuk mengurangi emisi karbon. 

Pajak karbon juga menjadi upaya pemerintah untuk mendukung pengembangan inovasi energi baru terbarukan (EBT) nasional dan juga dapat menjadi sumber penerimaan negara, dengan adanya pajak karbon, harga EBT dapat bersaing dengan harga energi fosil.

Penerapan pajak karbon di dunia

Pajak karbon pertama kali diterapkan di Finlandia pada 1990. Pungutan pajak karbon di Finlandia saat ini mencapai US$68 per ton emisi karbon (CO2e). Menurut data World Bank (2021) pajak karbon setidaknya telah diterapkan di 27 negara di seluruh dunia.

Peran pajak karbon sangatlah penting karena pajak karbon telah berkontribusi menaikan PDB negara tersebut dan menurunkan tarif dari pajak – pajak lainnya, tidak hanya dampak lingkungan yang dirasakan, dampak pada pada bidang lain seperti ekonomi, kesehatan, sosial dan lain – lain juga bisa dirasakan dari pajak karbon.

Adaptasi pajak karbon untuk Indonesia

Dua skema atau alternatif yang dicanangkan pemerintah untuk kebijakan pajak karbon adalah :

1. Skema Cap and trade

Di dalam skema cap and trade, entitas yang mengemisi lebih dari batas atau cap diharuskan membeli Sertifikat Izin Emisi (SIE) dari entitas yang mengemisi di bawah cap atau membeli Sertifikat Penurunan Emisi (SPE atau carbon offset).

2. Skema Cap and Tax 

Sedangkan dalam skema cap and tax, entitas yang mengemisi lebih dari cap, selisih emisi yang melebihi batas tersebut akan dikenakan pajak karbon (dengan tarif sesuai Undang-Undang)

Alasan penundaan

  1. karena pemerintah masih ingin menyusun dan mengharmonisasikan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan juga Peraturan Presiden (Perpres) no. 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
  2. pemerintah fokus untuk memastikan kestabilan harga untuk suplai dan menjaga daya beli untuk kebutuhan masyarakat karena bertepatan dengan momen Ramadhan, maka pemerintah saat ini belum bisa mempertimbangkan hal ini karena pemerintah masih mengurusi urusan kesejahteraan rakyat dan daya beli masyarakat
  3. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penundaan Pajak Karbon disebabkan oleh rencana penerapan yang belum terlalu matang. Pajak karbon roadmap belum 100% selesai sehingga kami akan lebih mempersiapkan untuk bisa dilaksanakan di pertengahan tahun.

Dampaknya terhadap Indonesia

Penundaan ini berimplikasi pada melambatnya proses transisi energi. Seperti diketahui, Indonesia memiliki wacana untuk menghentikan aktivitas PLTU batu bara secara bertahap hingga 2060 sebagai upaya transisi energi. Pada kesempatan tersebut, Greenpeace menilai pemensiunan PLTU bisa dilakukan secara lebih cepat di tahun 2040.

Transisi energi fosil ke EBT perlu dilakukan secara cepat agar kerugian yang harus ditanggung oleh Pemerintah akibat krisis iklim dan bencana alam tidak terus membengkak. Selain itu, kerusakan lingkungan juga berdampak pada Kesehatan masyarakat. Baru-baru ini polusi debu batu bara ditemukan di perumahan warga di Marunda, Jakarta Utara.

 Apa dampaknya bagi ekonomi ?

International Monetary Fund (IMF) Fiscal Monitor menilai bahwa pemberlakuan pajak karbon akan meningkatkan pendapatan fiskal, terlebih di negara-negara yang menghasilkan emisi karbon cukup tinggi.

Di Asia Pasifik, pemberlakuan pajak karbon dapat mendorong pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) hingga 1 – 2 persen, bergantung kepada tarif pajak yang diberlakukan. IMF memprediksi pertumbuhan PDB indonesia pasca berlakunya pajak karbon, dengan asumsi pajak dalam tiga tarif, yakni US$25 per ton, US$50 per ton, dan US$75 per ton:

  • US$25: 0,7 persen
  • US$50: 1,3 persen
  • US$75: 1,8 persen

Berdasarkan perhitungan terbaru dari target Nationally Determined Contributions (NDC) hingga 2030, tertulis bahwa kebutuhan biaya Indonesia untuk mencapai target penurunan emisi karbon adalah Rp3.779 triliun. Artinya, sepanjang 2020 – 2030, setiap tahunnya Indonesia memerlukan Rp343,6 triliun untuk penurunan emisi karbon.

Penundaan implementasi pajak karbon secara tidak langsung akan menahan potensi penerimaan yang dapat mengisi kebutuhan dana Rp343,6 triliun per tahun. Terlepas dari perhitungan itu, hal terpenting adalah Indonesia melakukan langkah nyata secepat mungkin, karena masalah krisis iklim tidak akan menunggu hal-hal administratif.

Pajak Karbon merupakan pajak yang digunakan untuk mengurangi emisi karbon. Tidak hanya itu, kebijakan ini juga bermanfaat untuk menambah pendapatan negara dan mendorong percepatan transisi EBT. Pemberlakuan kebijakan ini harus dilakukan secepatnya oleh pemerintah, mengingat krisis iklim terjadi tanpa melalui birokrasi yang berbelit dan proses administrasi yang kacau. Seharusnya, pemerintah bergerak lebih cepat dan tanggap dalam memberlakukan kebijakan ini karena kerugian akibat krisis iklim sangatlah besar.

#ThinkBigWithHnG

You May Also Like