Penulis : Ryandika Abbel
Pada tanggal 5 Januari 2022, DPR dan Pemerintah mengundangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (selanjutnya disebut UU HKPD). Sebagaimana pernyataan Hardianto dalam situs Kementerian dan Keuangan, mengatakan bahwa HKPD merupakan babak baru dari desentralisasi fiskal, maka dapat diketahui bahwa salah satu tujuan yang melatarbelakangi pembentukan UU HKPD adalah wujud dari harapan asas otonomi di bidang fiskal yang diberikan kepada daerah agar dapat berjalan bersama demi kemakmuran masyarakat bersama.
Dalam materi muatan UU HKPD, sistem perpajakan dikembangkan dengan memangkas jumlah jenis Pajak dan Retribusi Daerah dengan tujuan mengurangi biaya administrasi sehingga kemudahan bagi wajib pajak dapat berjalan secara efisien. Selain itu, setiap daerah juga diatur untuk memiliki kerangka pengeluaran jangka menengah, penganggaran yang terpadu dan belanja yang berbasis kinerja dengan tujuan untuk menggambarkan bahwa daerah memilik tujuan dan tanggung jawab yang jelas.
Dari muatan-muatan tersebut di atas, sekilas dapat dilihat bahwa UU HKPD berimplikasi dan berdampak baik bagi masyarakat khususnya pada sektor pajak. Dampak yang dimaksud adalah dampak yang akan lebih dirasakan oleh tiap-tiap daerah, yaitu dalam hal peningkatan pendapatan daerah.
Tantangan UU HKPD
Terlepas dari hal-hal positif yang berdampak bagi tiap-tiap daerah, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan oleh pemerintah. Perlu diketahui, potensi peningkatan pendapatan tiap-tiap daerah melalui UU HKPD ini berangkat dari beberapa muatan yang salah satunya adalah muatan mengenai beberapa ketentuan tarif. Ketentuan tarif dalam UU HKPD menggunakan mekanisme range price, sebagai contoh adalah Pasal 15 ayat (1) dan (2) yang menetapkan tarif BBNKB maksimal sebesar 12% dan khusus untuk daerah setingkat provinsi yang tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota otonom maksimal sebesar 20%.
Dengan mekanisme tersebut, timbul pula potensi untuk meghambat pemasukan daerah karena adanya tarif pada batas maksimal yang dilakukan oleh Pemda. Hal tersebut dinilai dapat membuat fungsi regulerend tidak dapat berjalan efektif. Fungsi regulerend sendiri adalah instrumen untuk mencapai tujuan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya.
Dengan melalui instrumen pajak, ekonomi, sosial dan budaya tersebut cenderung akan lebih cepat mengalami perkembangan. Kemudian, Resmi (2009 : 3) juga menyatakan bahwa fungsi regulerend merupakan fungsi pajak secara tidak langsung yang dapat mengatur perekonomian nasional agar produktif dan menciptakan keseimbangan dalam pertumbuhan ekonomi, sehingga objek pajak dan subjek pajak dapat tumbuh lebih banyak dan basis pajak juga mengalami peningkatan. Dengan adanya range price dalam UU HKPD yang diharapkan dapat menjadi instrumen daya saing, justru menjadi hal yang kontraproduktif dengan fungsi regulerend pajak yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional.
UU HKPD berpihak kepada rakyat?
Selanjutnya, UU HKPD nyatanya dapat berdampak terhadap kerugian di masyarakat, khususnya bagi pelaku usaha. Hal tersebut didasarkan pada muatan pada Pasal 41 ayat (1) UU HKPD yang menyatakan bahwa tarif Pajak Bumi dan Bangunan ditetapkan dengan nilai maksimal sebesar 0,5% (nol koma lima persen). Jika dibandingkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, Pajak Bumi dan Bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% (nol koma tiga persen).
Dengan adanya peningkatan tarif Pajak Bumi dan Bangunan ada UU HKPD ini, potensi yang dapat terjadi pada perkonomian bisa menjadi potensi yang negatif. Hal tersebut karena dapat memberatkan pelaku usaha, bahkan bagi setiap individu masyarakat yang memiliki properti. Selain itu, pada Pasal 41 ayat (1) UU HKPD ini juga tidak menjelaskan secara rinci mengenai pemisahan tarif bagi kepentingan usaha berbeda, seperti usaha dengan tarif pribadi serta tidak adanya kriteria secara rinci bagaimana penetapan persentase tarif Pajak Bumi dan Bangunan.
UU HKPD sejatinya merupakan undang-undang yang dapat mendongkrak pendapatan nasional, begitu pula pendapatan daerah. Selaras dengan tujuan yang melatarbelakangi pembentukan UU HKPD, muatan-muatan yang ada pada dasarnya merupakan solusi dari perkembangan perekonomian dan dinamika desentralisasi fiskal di tiap-tiap daerah.
Selain itu, UU HKPD juga dapat membuat efektivitas dan efisiensi pemungutan pajak meningkat, serta timbul harmonisasi dalam hal hubungan keuangan antara pemeritah pusat dengan pemerintah daerah. Salah satu hal penting dari adanya UU HKPD adalah bentuk pelaksanaan dan implementasi dari asas otonomi daerah yaitu desentralisasi yang akan menjadi lebih optimal sehingga dapat membuat semangat otonomi tiap daerah meningkat yang berujung pada peningkatan pendapatan di tiap-tiap daerah. Akan tetapi, UU HKPD sebagai bentuk penyempurnaan undang-undang terkait perlu lebih disempurnakan lagi, terutama dalam hal penetapan tarif.
Penetapan tarif pada UU HKPD harus mempertimbangkan peraturan-peraturan terdahulu yang terkait agar dapat menjamin kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dari berbagai kalangan, tidak hanya bagi masyarakat biasa, tetapi juga dari kalangan pelaku usaha sehingga peningkatan pendapatan dari berbagai sektor, lini, dan instrumen yang diharapkan dapat terealisasikan.
Perlu adanya penyesuaian kembali terutama pada penetapan tarif batas maksimal agar tidak merugikan pelaku usaha di tiap daerah. Pelaku usaha nyatanya memiliki peran krusial dalam hal peningkatan pendapatan daerah dan negara. Selain itu, penyesuaian penetapan tarif juga harus mempertimbangkan fungsi regulerend pajak untuk menjamin tetap optimalnya pajak sebagai instrumen yang dapat mempercepat sehingga keseimbangan antar ekonomi, daerah, dan keamanan dapat terwujud secara ideal.
#ThinkBigWithHnG