Penulis : Zakky Ashidiqi
Titik balik dalam sejarah dunia dimulai dengan Revolusi Industri, yang terjadi pada akhir abad ke-18. Perkembangan tingkat produksi dalam industri mendorong permintaan energi menjadi semakin besar.
Menjawab permasalahan tersebut, energi yang semula bersumber dari pembakaran kayu dan tenaga hewan berangsur tergantikan dengan munculnya inovasi penggunaan energi alternatif batubara dan produksi berbahan dasar minyak bumi. Setiap tahunnya bahan bakar fosil (batu bara, minyak bumi, dan gas) tetap dikonsumsi bahkan dalam jumlah yang semakin meningkat.
Konsekuensi dari pembakaran batubara dan minyak bumi adalah lepasnya gas karbondioksida (CO2) ke atmosfer yang secara akumulatif terkumpul di udara dengan jumlah besar. Ketika peristiwa tersebut dibiarkan maka akan timbul eksternalitas negatif berupa pencemaran udara serta pemanasan global yang berujung climate change.
Upaya mengantisipasi dampak karbon
Climate change merupakan masalah global dimana semua orang di dunia dapat merasakan dampaknya.Karakteristik dari kerusakan yang terjadi akibatnya penggunaan bahan bakar fosil secara berlebihan sudah semakin jelas dari waktu ke waktu. Tidak ada penangkal dari climate change maupun dampaknya. Yang dapat dilakukan adalah melandaikan kurva emisi yang ditimbulkan dari berbagai aktifitas manusia.
Pada tahun 1990, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengeluarkan laporan penilaian pertama mereka yang secara formal mendesak adanya strategi untuk menurunkan konsumsi bahan bakar fosil. Estafet tersebut dilanjutkan oleh Kyoto Protocol (2008) sebagai suatu momen bersejarah dalam upaya untuk mengurangi emisi karbon secara global.
Protokol tersebut ditindak lanjuti melalui lahirnya Paris Agreement (2015) dengan kesepakatan untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 1,5°C-2°C. Indonesia sebagai negara Non-Annex I menandatangani perjanjian tersebut melalui UU nomor 16 tahun 2016 tentang Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa MengenaiPerubahan Iklim dan menyampaikan nationally determined contribution (NDC) sebagai bukti komitmen penurunan emisi.
Dalam NDC, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29% dengan upaya mandiri atau sebesar 41% dengan bantuan internasional dari kondisi tanpa ada aksi (business as usual) pada tahun 2030.
Emisi karbon
Indonesia sebagai negara penghasil emisi terbesar nomor enam di dunia, emisi dari sektor industri merupakan penyumbang lebih dari sepertiga emisi CO2 di Indonesia. Sehingga Indonesia membutuhkan suatu kebijakan yang lebih ketat untuk dapat melakukan pengurangan tingkat emisi ini agar memenuhi batas 1,5°C (Brown to Green Report, 2019).
Kenaikan suhu global sebanyak 1°C mengurangi pendapatan per kapita sebesar 1,45% untuk negara miskin (Melissa Dell, Benjamin F. Jones, and Benjamin A. Olken, 2014). Beberapa negara menanggulangi masalah emisi dengan menerapkan kebijakan Pajak Karbon sebagai pajak pigouvian.
Negara maju seperti Swedia membuktikan bahwa pengenaan Pajak Karbon tidak harus mencederai perekonomian, dimana dalam kurun 27 tahun mereka telah sukses untuk menurunkan emisi karbon sebesar 26%, namun tetap mendapatkan kenaikan GDP sebesar 75%. Bahkan Pajak Karbon telah diterapkan oleh Kosta Rika yang merupakan negara berkembang dalam upaya melindungi hutan tropis.
Pajak Karbon
Pajak Karbon merupakan alternatif yang sangat menarik jika dilihat dari sudut pandang reformasi kebijakan ekonomi. Hal tersebut dianggap sebagai skema yang paling efektif dan efisien untuk meningkatkan stimulus ekonomi secara luas dan mengurangi emisi GRK.
Penerapan Pajak Karbonakan menciptakan rintangan bagi kegiatan emisi tinggi yang bisa memberikan insentif untuk investasi rendah emisi. Lebih lanjut, kebijakan ini bisa memberikan sumber pendapatan fiskal yang bisa dialokasikan untuk memberi kompensasi kepada orang miskin atas tambahan perpajakan dan mengimbangi pajak lainnya.
Studi Yusuf dan Ramayandi (2010) menemukan bahwa Pajak Karbon dan pemotongan subsidi bahan bakar dapat menyebabkan pengurangan emisi karbon dan konsumsi energi. Berdasarkan Kementerian Keuangan, menyatakan bahwa penerapan Pajak Karbon di Indonesia dapat mengurangi kemiskinan dan meningkatkan output ekonomi yang diukur dengan PDB.
Belajar dari kegagalan negara lain
Penerapan Pajak Karbon tentunya akan menaikan biaya hidup masyarakat. Isu kenaikan biaya hidup ini adalah basis penolakkan Pajak Karbon oleh politisi di negara-negara yang telah menerapkan Pajak Karbon.
Pada tahun 2014, Australia merupakan satu-satunya negara di dunia yang menghentikan aturan Pajak Karbon. kurangnya kepercayaan publik dikarenakan narasi untuk Pajak Karbon tidak dikomunikasikan dengan baik. Kenaikan biaya yang dirasakan oleh masyarakat, dan elit politis yang didukung oleh para perusahaan pertambangan membuat regulasi yang telah berjalan hanya 3 tahun tersebut dicabut oleh pemerintah Australia.
Mempelajari dari penerapan Pajak Karbon di negara lain serta melihat adanya potensi penerapan kebijakan Pajak Karbon, maka Indonesia perlu mempertimbangkan kebijakan sektor energi dan mengembangkan jalur rendah karbon dengan mengenakan Pajak Karbon sebagai tindakan yang layak. Kebijakan tersebut dilengkapi dengan menerapkan earmarking atas penerimaan Pajak Karbon untuk upaya restorasi di sektor lingkungan.
#ThinkBigWithHnG