Penulis : Anissa Rahayu Ipani, Annisa Riyananda & Dinda Tiffany
Pajak karbon merupakan salah satu cara yang digunakan oleh beberapa negara dalam upayanya untuk mengurangi emisi karbon. Emisi karbon perlu ditangani dengan serius karena memiliki dampak yang berbahaya dan merugikan bagi berbagai pihak jika tidak ditangani dengan tepat. Salah satu dampak serius dari tingginya emisi karbon tanpa penanganan yang tepat adalah perubahan iklim. Perubahan iklim sebagai dampak dari emisi karbon dapat menyebabkan berbagai dampak lanjutan, yaitu berupa gagal panen karena kekeringan, banjir karena naiknya permukaan laut, hingga kesehatan pernafasan yang menurun seiring menurunnya kualitas udara.
Pemerintah Indonesia telah berperan secara konsisten dan aktif dalam aksi perubahan iklim, ditandai dengan komitmennya dalam pengurangan emisi melalui ratifikasi Paris Agreement yang tercermin pada Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim).
Paris Agreement mengharuskan Pemerintah Indonesia untuk memberikan uraian dan berkomunikasi terkait aksi ketahanan iklim pasca-2020an yang dimilikinya dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Dokumen NDC tersebut kemudian diserahkan kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Target pengurangan emisi GRK di Indonesia digambarkan dalam dokumen NDC adalah sebesar 29% tanpa syarat dan 41% dengan bantuan internasional yang memadai pada tahun 2030 mendatang.
BKF telah melakukan studi pendahuluan untuk melakukan penilaian atas pengembangan dan implementasi instrumen pajak karbon untuk mendukung pengurangan emisi GRK dan pasar karbon di Indonesia, termasuk mempelajari potensi tantangan dan peluang yang ada. Dari studi pendahuluan tersebut, direkonmendasikan bahwa diperlukan keseimbangan antara pendapatan dari industri terkait karbon dan kepedulian lingkungan. Untuk itu pemerintah harus menetapkan target jangka pendek dan panjang untuk realisasi kebijakan pajak karbon di Indonesia.
Hambatan Dan Tantangan Dalam Upaya Penerapan Pajak Karbon Di Indonesia
Hambatan dan tantangan yang mungkin dihadapi Indonesia dalam upaya penerapan pajak karbon yaitu tidak adanya alat ukur yang bisa digunakan untuk membuktikan jumlah emisi karbon yang dihasilkan oleh industri, ketergantungan dalam menggunakan bahan bakar fosil, dan keterbatasan data pembanding.
Pelaksanaan dalam UU HPP
Tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO₂e) atau satuan yang setara. Dalam hal harga karbon di pasar karbon lebih rendah dari Rp30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO₂e) atau satuan yang setara,
Kemudian, penerimaan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim. Wajib Pajak yang berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon, pengimbangan emisi karbon, dan/atau mekanisme lain sesuai peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup dapat diberikanpengurangan pajak karbon atau perlakuan lainnya atas pemenuhan kewajiban pajak karbon.
Desain Pajak Karbon Yang Dapat Diterapkan Di Indonesia
Berdasarkan konteks atau kondisi Indonesia dan praktik atau pedoman terbaik untuk merancang serta menerapkan pungutan karbon yaitu mencegah pemajakan berganda; mengantisipasi dampak dari pungutan karbon, objek dan target yang jelas dari pungutan karbon; sistem perhitungan, penilaian, dan verifikasi emisi karbon yang andal; forum pemangku kepentingan yang berkelanjutan dan efektif serta keterlibatan pemangku kepentingan; meningkatkan kesadaran dan upaya menjangkau yang efektif; kapasitas kelembagaan, sumber daya manusia, teknis, dan keuangan yang memadai.
Pungutan pajak karbon bisa dikenakan terhadap titik tertentu dalam rantai pasokan energi. Pemerintah harus terlebih dahulu menetapkan apakah pungutan dikenakan pada hulu (upstream) atau hilir (downstream) rantai produksi. Pengenaan pungutan sebaiknya dikenakan di hulu, yaitu pada saat penyerahan atas produk atau sumber energi yang menimbulkan emisi karbon dalam penggunaannya. Penulis berpendapat demikian karena mempertimbangkan hambatan dan tantangan terkait kesulitan melakukan pembuktian atas banyaknya emisi karbon yang telah diuraikan.
Ketika pungutan karbon dikenakan di hulu, harus ditentukan sumber energi dan barang apa saja yang akan dikenakan pungutan karbon. Pungutan karbon tersebut dapat dirumuskan yang pertama yaitu sebagai subjek pungutan karbon orang pribadi dan/atau badan yang melakukan penyerahan sumber energi yang menghasilkan emisi karbon dalam penggunaannya. Selanjutnya yang kedua yaitu peristiwa hukum, dalam peristiwa hukum ini mana yang lebih dahulu antara penyerahan dan pembayaran atas sumber energi tersebut. Dan yang ketiga objek pungutan karbon, yang merupakan sumber energi yang menghasilkan emisi karbon dalam penggunaannya.