Penulis : Farhan Farras Supangkat & Muhammad Septiadi
Pada Bulan Oktober 2021, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam salah satu peraturan tersebut, pemerintah memberikan insentif untuk sektor UMKM. Wajib Pajak Orang Pribadi dengan peredaran bruto tidak lebih dari 500 juta tidak dikenakan pajak. Hal tersebut sebagai upaya tindak lanjut akibat dari pandemi yang sangat berdampak pada perekonomian di Indonesia.
Mekanisme Pemberian Insentif
Pelaku UMKM dengan omzet kurang dari 500 juta dalam setahun, yang pada awalnya harus membayar pajak sebesar 0,5% dari omzet sekarang tidak perlu lagi membayar pajak. Kemudian untuk para pelaku UMKM dengan omzet lebih dari 500 juta tetapi masih di bawah 4,8 miliar, kebijakan ini juga dapat meringankan beban pajak mereka. Hal tersebut karena dalam menghitung pajaknya, pelaku UMKM dapat mengurangkan terlebih dahulu omzetnya dengan pengurang 500 juta. Hasil dari omzet yang tersisa akan dikenakan PPh Final 0,5% sesuai PP No.23 Tahun 2018.
PP No.23 Tahun 2018, Sudah Adilkah?
UMKM memiliki peran penting sebagai salah satu pilar perekonomian Indonesia. Peran penting inilah yang menjadi salah satu alasan pemerintah memberikan kemudahan, seperti perbedaan pengenaan pajak UMKM dengan Wajib Pajak selain UMKM. Walaupun jika dilihat dari sudut pandang keadilan, pembedaan ini akan menimbulkan pertentangan. Hal tersebut karena seharusnya pemerintah tidak membuat perlakuan yang berbeda bagi warga negaranya. Namun, jika dilihat dari sudut pandang para pelaku UMKM jelas kebijakan ini memberikan keadilan serta kemudahan bagi mereka.
Melihat dari peraturan-peraturan yang ada sebelumnya, pemerintah terus berupaya untuk memberikan keadilan dan memihak para pelaku UMKM. Sebagai contoh, dalam PP No.23 Tahun 2018 segi keadilan sudah lebih baik dibandingkan PP No.46 Tahun 2013. Peraturan pemerintah tersebut memberikan WP pilihan dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Apakah usahanya akan dikenakan PPh Final 0,5% atau menggunakan tarif PPh Pasal 17. Hal ini merupakan respon pemerintah atas protes dari WP pada PP No.46 Tahun 2013. Dengan hanya dibolehkan membayar pajak menggunakan tarif final 1% atas peredaran bruto, banyak WP yang keberatan atas hal tersebut.
Pengenaan pajak atas peredaran bruto ini tidak memperhatikan ability to pay Wajib Pajak, belum lagi apabila usahanya sedang mengalami rugi. Maka dari itu, pemerintah memberi opsi pada PP No. 23 Tahun 2018 agar aspek keadilan dalam pemajakan dapat terpenuhi. Terlebih lagi pemerintah telah membuat kebijakan peredaran bruto tidak kena pajak sebesar 500 juta. Hal ini jelas akan sangat menguntungkan bagi para pelaku usaha dengan peredaran bruto yang belum sampai 500 juta maupun yang telah melebihi 500 juta asal total omzetnya kurang dari 4,8 miliar.
Upaya Mencapai Keadilan
Reformasi perpajakan yang telah dilakukan ini dapat dianggap sebagai wujud nyata pemerintah dalam memenuhi aspek keadilan dalam regulasi perpajakan. Dalam Wahyudi dan Wijaya (2022) yang menuliskan hasil wawancara dengan Pak Sulfan mantan Komite Pengawasan Perpajakan (Komwasjak) pada tahun 2013. Beliau menyatakan alasan penerapan kebijakan peredaran bruto tidak kena pajak adalah bahwa dalam kebijakan ini mengandung unsur fairness atau keadilan.
Hal tersebut dipertegas lagi oleh Pak Sulfan yang menceritakan tentang pemberlakuan PP 46 bahwa dari pihak komwasjak pernah mempermasalahkan isu keadilan dalam PP 46 tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan PP 23 yang didalamnya menetapkan PPh Final 0,5%. Apalagi jika dilihat dari sisi administration cost yang cukup besar di samping yang seharusnya lebih efisien dalam melakukan pemungutan.
Selain itu, Wahyudi dan Wijaya (2022) menuliskan lebih lanjut tentang kebijakan peredaran bruto tertentu dari perspektif WP UMKM. Dalam tulisan tersebut salah satunya yaitu pendapat dari ketua komunitas UMKM Sadar Pajak (USP) Pondok Aren yang mengatakan bahwa saat belum berlakunya kebijakan batasan peredaran bruto tidak kena pajak, rekan-rekan sesama anggota komunitas tersebut sebagian besar menghindar dari pelaporan SPT. Selain itu juga alasan memiliki NPWP hanya sekedar syarat agar bisa melakukan pengembangan usaha.
Dapat dilihat dari wawancara tersebut, bahwasannya pemerintah ingin memberikan keadilan kepada para pelaku UMKM sekaligus meningkatkan kepatuhan mereka. Akan tetapi, perlu diingat bahwa faktor dari tingkat kepatuhan juga bukan serta-merta karena adanya kebijakan yang akan memudahkan dan meringankan WP tetapi terdapat faktor pemahaman Wajib pajak, tarif pajak yang berlaku, dan sosialisasi.
Sedangkan dari sisi keadilan, kebijakan batasan peredaran bruto tidak kena pajak sudah bisa dikatakan lebih memenuhi asas keadilan jika dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya yang serupa. Hal tersebut didapat setelah mempertimbangkan bahwa terdapat Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki net profit margin yang relatif kecil, tetapi masih harus membayar pajak.
#ThinkBigWithHnG