Mengulas Pajak Kendaraan Bermotor: Apakah Selaras Dengan Konsep Pajak Lingkungan?

Penulis: Bella Almira & Kristy Ceacilia


Pajak lingkungan menurut OECD adalah pajak yang pemungutannya berbasis suatu unit fisik yang terbukti memiliki dampak negatif terhadap lingkungan. OECD membagi pajak lingkungan menjadi 4 kategori, yaitu pajak energi, pajak transportasi, pajak atas polusi, dan pajak atas sumber daya. Setidaknya, terdapat 3 prinsip yang dimiliki oleh pajak lingkungan. Pertama, prinsip pencemar membayar (polluters pay principle). Prinsip ini menggambarkan bahwa pihak pencemar memiliki kewajiban untuk menanggung biaya yang dibutuhkan guna memperbaiki lingkungan. Kedua, prinsip pencegahan (the prevention principle). Prinsip ini ditujukan kepada negara untuk memahami segala jenis kegiatan yang menghasilkan polusi dan menimbulkan kerusakan lingkungan, baik bagi negaranya sendiri maupun negara lain. Ketiga, prinsip kehati-hatian (the precautionary principle). Prinsip ini memiliki fokus pada situasi yang mungkin atau tidak mungkin terjadi di masa depan sebagai akibat dari aktivitas yang dilakukan di masa sekarang dan ditujukan untuk menanggulangi adanya kerusakan lingkungan.

Adapun terdapat beberapa hal dalam kebijakan PKB yang kurang atau tidak selaras dengan konsep pajak lingkungan. Berikut beberapa hal yang dapat pemerintah kaji dan evaluasi kembali agar PKB selaras dengan konsep Environmental Tax atau Pigouvian Tax.

Koefisien bobot dalam menghitung Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)

Setiap tahunnya, subjek PKB akan membayar PKB dengan cara mengalikan Nilai Jual Kendaraan Bermotor, Bobot, dan Tarif PKB. Bobot dinyatakan dalam koefisien, di mana koefisien 1 berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor dianggap masih dalam batas toleransi, sedangkan koefisien lebih dari 1 berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor dianggap telah melewati batas toleransi. Besaran bobot koefisien diatur lebih mendalam pada Permendagri No. 28 Tahun 2017 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor Dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Tahun 2017.

Alih-alih menggambarkan pencemaran lingkungan, penetapan bobot koefisien nyatanya hanya membedakan antara jenis kendaraan yang satu dengan yang lainnya, seperti motor ditetapkan koefisiennya sebagai 1, sedan sebesar 1,025, dan truk sebesar 1,3. Hingga kini, tidak ditemukan penentu dasar penetapan bobot koefisien tersebut, sehingga truk dengan koefisien 1,3 belum tentu lebih mencemarkan lingkungan dibanding sepeda motor berkoefisien 1. Selain itu, besaran koefisien antar tiap jenis kendaraan tidak memiliki perbedaan yang signifikan.

Kemudian, penetapan koefisien yang sama terhadap jenis kendaraan yang sama menggambarkan bahwa semua kendaraan bermotor seakan-akan memiliki daya pencemaran yang sama dengan kendaraan bermotor lainnya. Padahal, tidak menutup kemungkinan kendaraan bermotor “A” lebih mencemari lingkungan dibandingkan dengan kendaraan bermotor “B”, walaupun kedua kendaraan bermotor tersebut sejenis dan satu koefisien.

Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) penyerahan kedua dan seterusnya memiliki gap yang besar terhadap tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) penyerahan pertama.

Pada dasarnya, ketika seseorang membeli kendaraan bermotor, selain dikenakan biaya atas PKB setiap tahunnya, orang tersebut juga akan dikenakan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB). Dalam UU No. 28 Tahun 2009, tarif BBNKB ditetapkan 3 maksimal 20% untuk penyerahan pertama dan 1% untuk penyerahan kedua dan seterusnya. Besaran BBNKB dihitung dengan cara perkalian antara Nilai Jual Umum Kendaraan Bermotor dan Tarif Pajak. Adapun perubahan penurunan tarif BBNKB dalam UU No. 1 Tahun 2022 menjadi 12%.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh M. Hida Lazuardi pada tahun 2021, ditemukan hasil yang menunjukkan bahwa kendaraan tua dan tidak ramah lingkungan justru memiliki beban pajak yang paling rendah dibandingkan dengan kendaraan keluaran terbaru dan kendaraan listrik. Pada penelitian tersebut, Hida membandingkan perhitungan pajak pada tiga kendaraan bermotor yaitu Yamaha Rx-King tahun 1995, Yamaha V-Xion R 2020, dan Gesits 2020 dalam jangka waktu lima tahun dengan asumsi semuanya merupakan kendaraan pertama di DKI Jakarta.

Rendahnya pajak pada kendaraan tua disebabkan oleh dua faktor utama, yakni tarif BBNKB kepemilikan kedua yang sangat rendah dan NJKB kendaraan tua juga sangat rendah. Apabila suatu daerah menetapkan tarif BBNKB penyerahan pertama sebesar 20% dan penyerahan kedua 1%, terdapat gap tarif yang sangat besar dan berkali-kali lipat, yakni 19%. Rendahnya tarif BBNKB tersebut tentu menguntungkan konsumen pihak kedua dan seterusnya serta menjadikan kendaraan bermotor second hand atau keluaran lama sebagai target pembeliannya Dengan demikian, tarif BBNKB yang rendah berpotensi meningkatkan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia.

Selain itu, jika dilihat dari segi lingkungan, emisi gas buang kendaraan lama belum tentu seramah lingkungan emisi gas buang kendaraan keluaran baru atau kendaraan listrik. Apabila penggunaan kendaraan lama yang tidak ramah lingkungan lebih diminati oleh masyarakat, hal tersebut justru dapat meningkatkan polusi udara di daerah yang bersangkutan.

Perhitungan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB)

NJKB merupakan salah satu komponen dasar pengenaan PKB. NJKB ditentukan berdasarkan Harga Pasaran Umum kendaraan bermotor. Masih merujuk kepada penelitian yang dilakukan oleh M. Hida Lazuardi pada tahun 2021, motor Yamaha Rx-King tahun 1995 memiliki NJKB yang sangat rendah. Rendahnya NJKB untuk kendaraan bermotor yang lebih tua disebabkan oleh prosedur penetapan yang dilakukan Menteri Dalam Negeri setiap tahunnya untuk sepeda motor yang dijual pada tahun tersebut. Misalkan pajak untuk kendaraan bermotor tahun 2020 ditetapkan pada tahun tersebut menggunakan 4 asumsi harga kendaraan pada tahun berjalan tanpa adanya penyesuaian pajak yang akan dilakukan pada pembayaran tahun-tahun berikutnya.

Permasalahannya adalah tanpa memperhitungkan inflasi, keputusan tersebut akan terus menjadi dasar bagi penetapan PKB tersebut di tahun-tahun mendatang. Sedangkan, antara tahun 1995-2020 setidaknya Indonesia mengalami inflasi sebesar 733.44%. Oleh karena itu, apabila NJKB disesuaikan dengan tingkat inflasi, maka NJKB akan lebih relevan dan berpengaruh terhadap peningkatan PKB. PKB kendaraan bermotor lama yang meningkat berpotensi mengurangi minat konsumen untuk membeli kendaraan bermotor tersebut dan beralih kendaraan baru yang lebih ramah lingkungan atau menggunakan transportasi umum. Sebaliknya, tarif PKB yang lebih rendah akan mendorong masyarakat untuk menambah kepemilikan kendaraan bermotor tersebut.

Ulasan Terkait Pajak Kendaraan Bermotor

Terdapat beberapa hal dalam kebijakan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang tidak selaras dengan konsep Environmental Tax atau Pigouvian Tax. Pertama, koefisien bobot dalam menghitung Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) tidak menggambarkan pencemaran lingkungan sepenuhnya, terutama pencemaran udara, melainkan berfokus pada tingkat kerusakan jalan saja. Kedua, tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) penyerahan kedua dan seterusnya memiliki gap yang besar terhadap tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) penyerahan pertama, yakni maksimal 19%. Ketiga, perhitungan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) tidak memperhatikan nilai inflasi. Di mana poin kedua dan ketiga berpotensi meningkatkan penggunaan kendaraan bermotor lama seta eksternalitas negatif akibat emisi gas buang yang tidak seramah lingkungan kendaraan bermotor baru atau kendaraan bermotor listrik.

Rekomendasi Kebijakan

Untuk menyelaraskan kebijakan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dengan konsep Environmental Tax atau Pigouvian Tax agar dapat mengendalikan eksternalitas negatif lebih optimal, pemerintah perlu melakukan uji emisi gas buang kendaraan bermotor dan mengonversi hasilnya sebagai Koefisien Bobot Lingkungan yang menjadi dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Kemudian, tarif BBNKB perlu ditinjau dan dievaluasi kembali oleh pemerintah. Gap yang besar antara penyerahan pertama dan kedua menjadikan kendaraan bermotor lama semakin marak dimiliki dan diminati masyarakat, sebab beban pajaknya lebih kecil dibandingkan dengan kendaraan bermotor baru. Terakhir, pihak yang bertanggung jawab atas penetapan NJKB perlu mengkaji ulang perhitungannya. Akan lebih baik jika perhitungan NJKB disesuaikan dengan inflasi yang dialami oleh Indonesia.

#ThinkBigWithHnG

You May Also Like