Ketika PBJT Bertabrakan dengan Praktik Digital: Apa yang Harus Diketahui?

Penulis: Jasmine Serena


Transaksi digital yang kini semakin berkembang memunculkan berbagai tantangan dalam penerapan pajak, salah satunya adalah Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Sebagai contoh, ketika seseorang memesan makanan melalui aplikasi pengantaran, misalnya dengan total transaksi Rp70.000, kita mungkin berpikir bahwa pajak akan dikenakan atas seluruh jumlah tersebut. Namun, kenyataannya, pengenaan pajak tidak selalu dihitung dari nominal yang dibayar oleh konsumen. Bagaimana sebenarnya mekanisme pengenaan pajak ini?

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PP 35/2023) menyatakan dalam Pasal 19 ayat (1) bahwa dasar pengenaan pajak (DPP) untuk PBJT adalah “pembayaran yang diterima oleh penyedia barang dan/atau jasa.” Ini berarti pajak dihitung hanya atas nilai yang diterima oleh penyedia barang atau jasa, bukan yang dibayar oleh konsumen.

Sebagai contoh, dalam transaksi sebesar Rp70.000, mungkin hanya Rp50.000 yang diterima oleh restoran, sedangkan sisa uang tersebut digunakan untuk biaya pengiriman dan biaya administrasi platform aplikasi. Dengan kata lain, pajak hanya dikenakan pada nilai yang diterima oleh penyedia barang atau jasa, yakni Rp50.000, dan bukan pada seluruh nominal yang dibayar konsumen (Rp70.000).

Namun, dalam Undang-Undang Pajak dan Retribusi Daerah (UU HKPD) yang berlaku di beberapa daerah, pengenaan pajak dapat berbeda. Berdasarkan ketentuan dalam UU HKPD, DPP PBJT dihitung berdasarkan “nominal yang dibayar konsumen.” Artinya, jika konsumen membayar Rp70.000, maka pajak akan dikenakan atas seluruh nilai yang dibayar oleh konsumen, termasuk biaya pengiriman dan biaya administrasi platform.

Perbedaan ini memunculkan ambiguitas yang bisa membingungkan baik konsumen, pelaku usaha, maupun pemerintah daerah. Dalam praktiknya, peraturan yang menyatakan bahwa DPP dihitung berdasarkan nominal yang dibayar konsumen (seperti dalam UU HKPD) dapat berisiko menyebabkan pajak yang lebih tinggi, karena pajak dihitung atas seluruh jumlah yang dibayarkan, termasuk ongkos kirim dan biaya aplikasi. Sementara itu, PP 35/2023 mengatur pajak hanya dihitung atas nominal yang diterima penyedia, yang lebih rendah jika dibandingkan.

Ambiguitas ini menjadi krusial ketika pemerintah daerah dan pelaku usaha memiliki interpretasi yang berbeda mengenai DPP. Jika pemerintah daerah menganggap bahwa seluruh nilai transaksi konsumen adalah objek pajak, tanpa membedakan komponen-komponen transaksi yang diterima oleh penyedia, maka dapat terjadi pemungutan pajak yang berlebihan atau bahkan pajak ganda.

Sebagai contoh, jika pemerintah daerah mengacu pada UU HKPD dan menghitung pajak berdasarkan nominal yang dibayar konsumen, maka pelaku usaha yang menerima hanya Rp50.000 dari total Rp70.000 harus membayar pajak atas Rp70.000. Ini tentu akan memberatkan pelaku usaha, karena mereka harus membayar pajak lebih tinggi dari jumlah yang mereka terima.

Dalam mengatasi ambiguitas ini, transparansi dalam struktur pembayaran menjadi hal yang sangat penting. Jika komponen harga barang, ongkir, dan biaya platform dapat dipisahkan dengan jelas dalam faktur atau bukti pembayaran, maka pemerintah daerah akan lebih mudah memverifikasi DPP yang sebenarnya. Dengan demikian, pemungutan pajak dapat dilakukan secara adil dan tepat sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Platform digital juga memiliki peran penting dalam memastikan bahwa aliran dana tercatat dengan jelas dan akurat. Sebagai perantara transaksi, mereka harus mendokumentasikan komponen pembayaran dengan rinci, agar pelaku usaha dan pemerintah daerah dapat memahami secara tepat mana bagian yang harus dikenakan pajak.

Pengenaan PBJT dalam era digital harus memperhatikan kenyataan bahwa transaksi sering kali terdiri dari berbagai komponen yang berbeda. Perbedaan dalam pengaturan DPP antara PP 35/2023 yang mengacu pada nominal yang diterima penyedia dan UU HKPD yang mengacu pada nominal yang dibayar konsumen menunjukkan adanya ambiguitas dalam penghitungan pajak. Agar sistem pajak ini adil dan transparan, sinkronisasi antara peraturan pusat dan daerah serta praktik di lapangan harus terus diperbaiki. Transparansi dan pemahaman yang jelas tentang pengenaan pajak akan memastikan keadilan bagi pelaku usaha dan konsumen, serta menciptakan sistem pemajakan yang berkelanjutan.

Cek berita dan artikel lainnya di sini 

You May Also Like