Penulis: Kurnia Sari
JAKARTA, HnG Insight – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat penerimaan perpajakan dari sektor usaha pinjaman online atau peer-to-peer (P2P) lending mencapai Rp1,95 triliun hingga Maret 2024.
Sektor usaha P2P lending dikenakan beberapa jenis pajak diantaranya PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima wajib pajak (WP) dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT), PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima WP luar negeri, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
“Atas penghasilan bunga yang diterima atau diperoleh pemberi pinjaman, […], dikenakan pemotongan: a) PPh Pasal 23, dalam hal penerima penghasilan merupakan WP dalam negeri dan BUT; atau b) PPh Pasal 26, dalam hal penerima penghasilan merupakan WP luar negeri selain BUT,” bunyi penggalan Pasal 3 PMK 69/2022, dikutip Senin (22/04/2024).
Dasar hukum pemungutan PPN sektor usaha P2P lending tercantum dalam Pasal 6 ayat (2) huruf d PMK 69/2022 yang menyebutkan bahwa PPN dikenakan atas penyerahan jasa penyelenggaraan teknologi finansial berupa layanan pinjam meminjam.
Dalam laporannya, DJP menjelaskan bahwa nilai Rp1,95 triliun terdiri dari Rp446,40 miliar sebagai penerimaan pajak P2P lending pada 2022, Rp1,11 triliun pada 2023, dan Rp394,93 miliar pada 2024.
Adapun realisasi jenis pajaknya terdiri dari penerimaan PPh 23 sebesar Rp677,78 miliar, PPh 26 sebesar Rp231,43 miliar, dan PPN sebesar Rp1,04 triliun.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengatakan bahwa pengenaan pajak terhadap sektor P2P lending merupakan bentuk upaya pemerintah dalam menggali potensi pajak pada usaha ekonomi digital.
“Dalam rangka menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha (level playing field) bagi pelaku usaha baik konvensional maupun digital, pemerintah masih akan terus menunjuk para pelaku usaha PMSE yang melakukan penjualan produk maupun pemberian layanan digital dari luar negeri kepada konsumen di Indonesia,” ujar Dwi.
Cek berita dan artikel lainnya di sini